Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Antara Dua Pilihan

5 November 2020   20:32 Diperbarui: 14 November 2020   07:42 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di antara dua pilihan. (ilustrasi pribadi)

                Bulan November. Bunga tabebuya tampak bermekaran merona beraneka warna antara merah muda, putih, dan kuning di sepanjang jalan protokol kota pahlawan. Rasanya sudah lama aku tidak menginjakkan kaki di kota ini. Kurang lebih sudah  sembilan tahun sejak keputusan Dani meninggalkanku.

Tentang siapa yang meninggalkan dan yang ditinggalkan, kami selalu berdebat tak ada yang mau mengalah. Dani selalu menuduhku akulah yang meninggalkannya demi Faris, sedangkan aku pun tak kalah sengit menganggapnya tidak pengertian bahwa aku butuh sahabat saat kami berjauhan.

"Aku sadar, aku banyak kekurangan,"itulah yang diucapkannya, yang membuat hatiku serasa teriris, kemudian ingin berteriak sekeras-kerasnya.

Apa kurangnya dirimu? Kurasa tidak ada. Selain aku tidak terbiasa meneliti kekurangan orang, kecuali saat terpilih menjadi juri. Hehe. Bukankah kami tengah menjalani komitmen untuk saling mengisi kekosongan hati masing-masing?

Kisah yang terjalin sejak SMA. Sejak kami berjuang untuk dapat lolos SNMPTN tanpa salah pilih jurusan. Apa kurangnya diriku? Kembali pertanyaan bernada melankolis tak bisa hilang jika aku sudah menginjakkan kaki di kota buaya ini. 

Ia termasuk lima besar dengan nilai UN terbaik di sekolah, ia pun diterima di jurusan pilihannya, fakultas teknik pertambangan, jurusan yang menjanjikan masa depan cerah. Secara fisik ia pun tampak keren. Adakah kekurangnya? Atau adakah kekuranganku?

Daripada merasa dihukum pertanyaannya yang bernada melankolis, lebih baik aku mengambil alih semua kesalahan. Selain barangkali hal itu akan memuaskannya, tidak lagi membuatku dihantui pertanyaan melankolisnya, aku pun bisa berinstrospeksi diri. Bukankah manusia yang baik itu bukan yang tidak pernah bersalah, melainkan yang mau mengakui kesalahannya?

Ya. Mungkin akulah yang bersalah. Aku tidak tahan didera perasaan kesepian tatkala berjauhan dengannya. Selama tiga tahun sejak semester kedua, kami selalu bersama. Semula, karena nomor absen kami berurutan sama-sama berhuruf awal D. Setelah itu, kami pun sering sekelompok dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah.

Kesibukan dalam mengerjakan tugas kelompok membuat kami mulai berangan-angan memilih jurusan untuk berlaga di SNMPTN. Ia sudah memutuskan memilih jurusan tersebut. Anehnya, ia menyarankan aku untuk mengikuti pilihannya.

"Nanti kita bisa sekampus,"harapnya. Aku terkejut. Ia tidak terbiasa berbicara begitu dengan teman-teman perempuan lainnya, bahkan kepadaku pun ia seringkali tak acuh.

"Mengapa ingin kita sekampus?" tanyaku asal saja sambil melirik sekilas wajahnya yang tampak memerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun