Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bapakku, Guruku, Kepala Sekolahku

24 Oktober 2020   12:30 Diperbarui: 24 Oktober 2020   12:40 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: lovepik.com

"Begitu dititipi anak-anak perempuan, Bapak merasakan harus mengemban amanat  untuk  menghargai isteri. Walaupun niat itu sudah ada sejak awal, namun semakin bertambah dengan kehadiran anak-anak perempuannya, Bapak semakin berusaha untuk menghargai ibumu, berusaha jujur dan setia, agar Kalian kelak pun diperlakukan demikian oleh suami Kalian. Bapak tidak rela mereka menyakitimu, karena itu agar dihargai lelaki, Kalian harus mandiri." 

Kemandirian wanita itu penting, lanjut ibu. Jika kelak wanita harus kehilangan suami entah dipanggil Tuhan atau direbut orang, Kalian masih bisa menghidupi diri sendiri.

Demikian pula saat pembahasan tentang kesetiaan, bapak mengatakan bahwa dengan setia kepada pasangan hidup, orang akan dapat merasakan keindahan cinta (endahing katresnan). Selamanya bapak setia kepada ibu. Apakah pengaruh profesi, keuangan yang pas-pasan, atau gara-gara Tuhan metitipi anak-anak perempuan? Itulah jawaban bapak, bahwa dengan berusaha setia kepada pasangan, orang akan merasakan keindahan cinta.

Akan halnya materi, mungkin karena terbiasa hidup sederhana, guru pula, dalam hal mengarahkan anak-anaknya untuk memilih pasangan hidup pun bukan "Kerja apa atau berapa hartanya?" namun lebih kepada sanggupkah lelaki itu dititipi anak-anaknya? Dalam arti bisa melindungi dan menghidupi. Selain berpesan agar anak-anak perempuannya bertekat untuk mandiri tidak menggantungkan hidup kepada suami.

Tatkala seorang adikku diminta suaminya untuk berhenti bekerja karena anaknya masih kecil, yang bersangkutan keberatan kemudian mengadu kepada bapak, bapak pun mengatakan bahwa dirinya kini sudah tanggung jawab suaminya sepenuhnya, maka harus mematuhi suaminya, bukan mengadu kepada bapaknya. Lagipula suaminya pun terlihat sudah dapat memenuhi kewajiban untuk memberikan penghidupan yang layak kepada isterinya. 

Ketika berkumpul dengan cucu-cucunya, bapak menasihati adik-adik agar tidak menyekolahkan anak terlalu kecil, seperti saya yang saat itu sudah harus memasuki sekolah dasar padahal belum saatnya. Saya yang seharusnya masih manja, sudah dilatih untuk mandiri, bahkan tatkala pernah menjadi juara pun tidak dinobatkan sebagai juara karena merasa nggak nyaman dengan murid-murid yang lain. Akibatnya saya tumbuh menjadi orang yang mudah insecure.

Begitulah kenangan terhadap bapak, yang tidak pernah membiarkan kami minta diperlakukan istimewa ketika sekolah dasar. Hehe. Demikian pula wanti-wanti  untuk selalu diingat bahwa kewajiban lelaki itu memberikan penghidupan, bukan kemewahan, sehingga kami diharapkan tidak banyak menuntut, harus  selalu berupaya berjalan lurus, berupaya mandiri demi masa depan yang belum pasti. Selain itu, juga disarankan untuk setia agar dapat merasakan keindahan cinta (endahing katresnan). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun