"Para pendaki gunung semakin banyak. Aku sebagai tim edukasi kelompok kita dalam pencinta alam, memang seharusnya telah memprogram edukasi yang berkaitan dengan urgensi menjaga alam dan melestarikannya. Minimal kegiatan pendakian ini tidak malah menumpuk sampah, berlanjut dengan program reboisasi jika tidak ingin kelak kita akan terlanda kekeringan yang panjang,"jawabnya melanjutkan omonganku.
"Lapisan gunung es glester di kedua kutub bumi, diinformasikan telah meleleh. Tanahnya yang ribuan tahun tertutup salju, kini mulai terlihat. Badan Meteorologi pun menyampaikan bahwa siklus iklim berubah. Kabarnya penopang oksigen terbesar dunia yang berada di Amazona pun mulai rusak. Beberapa  gunung di Indonesia juga pernah terbakar, misalnya Gunung Rinjani, Gunung Raung."
Hujan tiba-tiba turun dengan lebatnya namun tidak lama, jaket kami basah, namun ia tidak menghiraukannya. Bahkan ia berlagak seolah sudah terbiasa dengan situasi seperti itu. Walaupun demikian, tampak ia mengambil cermin kecil dari dalam dompet kemudian mengamati wajahnya.
"Cemas ada yang belepotan?" godaku melirik ulahnya. Ia tetap mengamati wajahnya dari cermin sambil menyahut,
"Sebetulnya aku ingin bertubuh serba tipis seperti Kamu, selain ringan juga aman dari keusilan."jawabnya sambil memasukkan kembali cermin ke dalam tas.
"Jika masih disebut perempuan, bagaimana pun bentuk Kalian, pasti menawan dan rentan terhadap godaan,"jawabku,"Memangnya Kamu risih dengan godaan? Upayamu menutupi tubuh dengan jaket dan celana gombrong ini juga demi meminimalisasi penggoda dan penggemar?" Di luar dugaan ia pun mengiyakan.
"Betul. Digoda-goda dengan gurauan yang mengarah kepada sesuatu yang 'ngeres' jelas tidak nyaman. Banyak penggemar pun tidak menyenangkan karena mereka bisa kecewa jika diabaikan."
Itulah kenangan lima tahun yang lalu. Kala itu ia masih mahasiswa semester awal, sama denganku. Kemudian, lama kami tidak bertemu. Masih terngiang kalimat yang disampaikan ayahnya kepadaku. Usai aku mengantarnya sepulang pendakian.
"Dona anakku satu-satunya. Ibunya meninggal. Ibu sambungnya membawa anak lelaki yang bagiku kurang greget menuju masa depan, tidak seperti Kamu. Parahnya, ia seolah menyukai Dona. Entah karena Dona tampak menarik di matanya atau berharap warisan hartaku yang semuanya memang milik Dona kelak. Aku sungguh tidak rela. Bagaimana jika suatu saat ia memaksa Dona, memerkosanya atau apalah, toh aku sudah sakit-sakitan begini. Aku lebih suka menitipkannya kepadamu."
Hmm...aku tidak segera menjawab karena aku pun belum memahami perasaanku saat itu. Bahwa aku suka berteman dengan Dona memang fakta, tapi apakah aku ingin menikahinya kelak? Itu belum terpikirkan. Walaupun sesekali kecemasan akan nasibnya melintasi otakku. Perjalanan masa depanku masih panjang. Banyak teman wanita melintasi kehidupanku selain Dona. Maka, aku pun melupakannya.
Sesuatu yang tidak mudah. Kenangan kehujanan bersama, kenangan berteduh di warung indomie, kemudian ia membantu penjualnya membuatkan mie kesukaanku yang harus ditambah dengan irisan sawi dan adukan telor disertai irisan cabe dan bawang geprek, sungguh membuatku tidak mudah menepis sosoknya.