Minggu pagi ini masih terasa dingin. Hujan yang tercurah kemarin sore masih menyisakan bau tanah basah. Dingin yang masih terasa menggigit membuat ingin memanjakan diri dengan cara bersantai. Seperti biasa, sambil ditemani secangkir kopi, selalu memotivasi diri untuk menghasilkan sebuah tulisan. Â Akan tetapi, terbawa keinginan bersantai atau sedang banyak pikiran, pagi ini tak satu pun ide yang melintas untuk ditulis.
Beberapa judul buku pun sudah saya bolak-balik  sekadar menemukan ide untuk ditindaklanjuti. Akan tetapi tidak juga menemukan judul, paragraf, maupun kalimat yang memotivasi. Akhirnya, sebuah buku yang telah usang, terbitan tahun 90-an, berada di sudut, seolah melambai untuk diambil. Ya, okelah daripada sejak tadi gelisah didera sekian masalah, lebih baik dilarikan dengan membaca buku, barangkali kegalauan segera berlalu.
Dari sekian subjudul, ada judul yang menarik untuk dibaca. Judulnya "Mengambil Keputusan Tersulit". Wah...menarik, bukan? Untuk pengambilan keputusan biasanya selalu sulit, memerlukan waktu cukup lama untuk menentukannya. Judul tersebut malah menentukan keputusan tersulit, dari yang sulit-sulitkah? Sesulit apakah? Bagaimana pula cara memutuskannya?
Dalam buku tersebut dikisahkan tentang pengalaman beberapa orang yang telah sanggup mengambil keputusan dari dua masalah yang sama-sama sulit.Â
Contoh pertama, dialami oleh dua orang wanita berumur 80-an tahun. Sekian lama berpikir tentang tempat tinggal di hari tua, tatkala disodori pilihan tinggal di apartemen atau panti jompo? Keduanya memutuskan pilihan berbeda dengan alasan yang telah dipertimbangkan masak-masak.
Wanita lansia A, memutuskan tinggal di apartemen. Ia berusaha mengabaikan fakta umum bahwa kesehatan manusia berumur 80-an tahun sudah menurun. Ia tetap memutuskan tinggal di apartemen dengan cara mencoba menjalani kehidupan yang tidak akan banyak menyulitkan tubuhnya misalnya mengatur pola makan dan pola pikir.Â
Ia lebih terfokus kepada lingkungan sekitar apartemen yang menyenangkan karena ada pusat perbelanjaan, ada sarana berolahraga jalan kaki sampai jogging beserta kolam renang. Pemandangan di sekitarnya pun menyenangkannya.Â
Akan halnya keamanan, jika ada masalah sewaktu-waktu, tentu ia bisa menghubungi petugas sekuriti selain keamanan para penghuni pun terdeteksi CCTV 24 jam. Â Keputusan yang dipilihnya membuatnya tetap sehat dan mandiri enam tahun kemudian.
Wanita lansia B lebih memilih tinggal di panti jompo dengan alasan banyak yang membantunya jika mengalami kesulitan sehubungan dengan kesehatannya. Pilihannya pun menuruti kehendaknya. Ia menjadi loyo, selalu memerlukan bantuan orang lain dalam mengatasi masalah kesehatannya.Â
Selain tidak sanggup makan sendiri sehingga harus disuapi, ia pun selalu membutuhkan kehadiran orang lain di dekatnya. Bahkan ia pun harus digotong saat turun maupun naik ke tempat tidur, ke kamar mandi, apalagi untuk perjalanan ke sana kemari. Ia merasa tidak bahagia dengan kehidupannya yang serba dilayani dan bergantung kepada orang lain itu, namun ia telanjur menerapkan pola pikir kebergantungan kepada orang lain dalam hidupnya. Ia telanjur memprogram angan untuk dilayani pada hari tuanya.
Contoh berikutnya adalah masalah yang dialami seorang anak tunggal. Ibunya, begitu ayahnya meninggal, ingin tinggal bersamanya. Sebagai anak  ia pun merasa tidak tega membiarkan ibunya hidup sendirian di rumahnya.Â