Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dalam Selubung Kabut (20)

29 Juli 2020   07:08 Diperbarui: 29 Juli 2020   07:21 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Akhirnya uangku juga terhambur tanpa bekas bagi yang lain-lainnya. Benar-benar petualangan yang melelahkan Boy. Aku jadi teringat ucapan papamu, bahwa belajar untuk setia itulah yang terbaik, karena dari situlah kita bisa memahami keindahan cinta. Bisa ngerteni endahing katresnan, kata orang Jawa. Ada kebanggaan saat papamu mengucapkan hal itu Boy, seolah ia telah merasa sempurna sebagai manusia karena telah sanggup mengendalikan hawa nafsu."

"Betul itu Oom. Perang yang paling besar adalah perang melawan hawa nafsu sendiri. Berperang melawan segala keinginan yang ditimbulkan oleh nafsu kita sendiri, Oom."

"Kamu semakin dewasa, Boy. Semoga anakku berbahagia bersamamu." Pak Wira menepuk bahu Boy. Begitukah rasanya memiliki anak perempuan?

Banyak pria mengaku bahwa begitu memiliki anak-anak perempuan, keinginan menduakan isteri bisa terkendali karena kecemasan anaknya akan mengalami derita seperti ibunya. Hal itu membuat mereka memasang kacamata kuda agar bisa setia.

Tapi, aku setia pada isteriku, punya anak maupun tidak, atau misalnya hanya punya anak lelaki saja, aku tetap setia. Semoga tak terlintas menduakannya karena hal itu tak terpikirkan olehku. Papa tak memberikan contoh seperti itu dan tak pernah sekalipun menyakiti hati mama. Bagaimana mungkin aku bisa menyakiti hati isteriku? Matanya masih terpejam berlagak tertidur pulas.

Tania terkesan mencintaiku. Apakah karena selama ini aku pun menunjukkan sikap mencintainya, sehingga ia pun membalasnya dengan sikap yang sama? Boy pun akhirnya terlelap sementara tangan Tania masih mengelus punggungnya.

      *********

Ade menatap langit-langit kamar kosnya. Ia tidak bisa segera terlelap. Saat itu ia sedang kesal kepada isterinya karena tidak dapat menemani kepindahannya ke tempat kosnya. Ia kebetulan harus pindah ke kota itu sehubungan dengan pekerjaannya. Kebetulan ia pun ingin meneruskan kuliah. Maka, ia merasa seakan tergiring untuk sekali mendayung dua tiga pulau akan terlampaui.

Isterinya bukan melarang, tapi saat itu sedang ada rapat yang tidak dapat ditinggalkan. Walaupun  tidak menuntut isterinya menemani, dalam hal ini dirinya yang akan mengalah mencoba pulang seminggu sekali, tapi kelalaiannya untuk tidak mengingat jadwal kepindahannya membuatnya kesal.

Apalagi saat itu ia sedang lapar. Maka, ke kantin kampuslah langkahnya demi menghalau haus yang seolah mengeringkan leher dan perut yang seolah sudah menggerutu minta diisi. Ada beberapa mahasiswi S1 yang berada di situ. Jika menyimak gurauan mereka, sepertinya mereka sudah melaksanakan yudisium, tinggal diwisuda.

"Hmm...alamat nih. Jika tidak segera memperoleh pekerjaan lalu tidak segera menikah pula, tentu harus siap-siap tutup kuping rapat-rapat,"gerutu seorang gadis yang mengenakan hem berwarna biru. Seorang temannya melirik tak acuh, kemudian menyahut,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun