Saat itu jauh sebelum covid-19 melanda dunia, masih dari sebuah buku yang berjudul Meraih Kebahagiaan, sebuah subjudul yang sangat menarik tiba-tiba membuatku ingin membacanya segera.Â
Kulihat jadwal hari itu, Rabu, ada jam kosong dua jam, sehingga keinginan saya untuk membacanya segera pun terkabul walaupun kepala terasakan agak pusing. Gejala flu sudah saya alami sejak kemarin.Â
Perubahan cuaca yang tidak jelas ditambah konflik batin yang saya alami akhir-akhir ini, sanggup melemahkan ketegaran fisik. Biasanya pengganggu utama memang gejala flu akibat perubahan cuaca.
Akan tetapi, hari itu Tuhan berkenan membuat senang karena konflik batin sudah berkurang. Perasaan senang yang membuat lupa bahwa obat flu harus saya minum. Mengapa lupa? Perasaan senang karena konflik telah teratasi membuat gejala tersebut menepi sehingga terasakan seolah sudah sembuh. Konflik batin yang sebetulnya bukan masalah besar.
Entah mengapa, dua minggu yang lalu saya merasa tengah mengalami Sindrom Pramenstrual atau PMS dalam bentuk ingin marah-marah secara tidak jelas alias ngamuk tak karuan. "Penyakit" memalukan terlebih jika yang diserang emosi, dipercaya sebagai adanya keterkaitan erat dengan perubahan hormon dalam tubuh.Â
Begitu gejala PMS berlalu, saya  merasa tidak nyaman dengan gejala amarah yang tidak jelas bahkan hampir meledak. Sore hari sambil menonton acara Mata Najwa, saya pun tertidur tanpa meminum obat flu sekali lagi karena gejalanya sudah menepi. Lalu, adakah keterkaitan judul dengan tulisan ini nantinya? Seharusnya bisa dihubungkan atau diupayakan untuk bisa dihubungkan.  Â
Esok hari berikutnya, setelah jam mengajar terlampaui dan tinggal satu jam kosong sebelum bel pulang, ada waktu selonjoran di perpustakaan sambil meneruskan membaca bacaan kemarin kemudian menulis.Â
Brickman dan Campbell (dalam Rakhmat, 2004: 189) mengatakan bahwa hedonic treadmill adalah kesenangan yang tak terpuaskan. Mengapa? Karena kesenangan yang dinikmati berulang-ulang akan berkurang bahkan menghilanglah  rasa senang itu.Â
Betulkah demikian? Kesenangan duniawi memang adakalanya juga berubah-ubah sesuai dengan kondisi, misalnya dulu semasa menjadi mahasiswa kos-kosan, makan sesuai dengan uang saku sudah terasa memuaskan.Â
Akan tetapi, setelah bekerja, menu yang dipilih pun lain lagi, bahkan selera tentang pacar pun menjadi lebih tinggi, dan seterusnya. Standard pun ditingkatkan sesuai dengan besarnya penghasilan. Keinginan demi keinginan yang selalu dituruti akan menyulut keinginan baru. Ibarat mereguk air laut, semakin direguk semakin terasa haus.
Setelah keinginan terpenuhi atau ibarat perjalanan telah sampai ke puncak, cepat atau lambat, manusia akan mengalami kejenuhan, setinggi apapun standard yang telah ditetapkan, bukan? Sesuai dengan yang disampaikan Nico Frijda (dalam Rakhmat, 2004: 195) bahwa jika terpenuhi terus menerus kesenangan akan habis juga.