''Kamu kok diam saja dengan fenomena seperti ini?''.
''Fenomena apa?''.
''Banyak pemberi yang justru menjadi ajang selfi''.
Saya tertawa sambil menepuk pundaknya.
''Biarin saja, itu bukan urusan saya. Yang penting bantuannya bermanfaat untuk orang-orang yang membutuhkan. Soal mereka mau selfie atau tidak, itu urusan mereka. Saya hanya berhak menilai kebaikan mereka, bukan kekurangan mereka,'' jawabku santai.
''Nggak bisa dong, mereka pasti nggak tulus dalam memberi. Kalau tulus, pasti gak selfie kayak gitu,'' teman saya ngotot mengajak saya untuk meragukan ketulusan hati para dermawan tersebut.
''Tulus atau enggak, itu juga bukan urusan saya. Mosok sih kita berdebat kayak gini? Nggak penting banget kan? Coba lihat mereka-mereka yang sumringah membawa beras dan sembako pulang ke rumah''.
Kami berjalan beriringan di sepanjang trotoar dengan pikiran kami masing-masing. Saya biarkan kawan saya sibuk dengan penilaian-penilaian.
''Betul juga kamu prens, mengapa kita sibuk menilai orang lain ya? Siapa menilai siapa, hahahaha...,'' teman saya tiba-tiba mengakui argumen saya.
''Kita? Kamu saja keleeesss!''.
Kami tertawa bersama, meninju congkaknya dunia! Eh maksud saya, meninju angin. (catatan ringan NKRi)