Perubahan paradigma di tengah dunia yang semakin berkembang pesat merupakan tantangan bagi masyarakat yang masih hidup di zaman ini. Runtuhnya sendi-sendi spiritual dan moralitas merupakan bukti nyata yang tidak dapat dihindari begitu saja. Hampir setiap harinya terjadi tindak kejahatan, seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Salah satu tindakan tersebut mengarah pada kekerasan berbasis gender. Baik perempuan, maupun laki-laki masih saja mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan kodratnya. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, terdapat 12.576 kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia pada 2024. Sungguh disayangkan, bahwasanya masyarakat saat ini semakin menjauhi kebaikan, tetapi justru semakin mendekatkan pada kejahatan. Artinya, kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masih lemah.
Tingginya kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia bukan hanya menunjukkan lemahnya hukum, tetapi juga mencerminkan budaya patriarki yang mengakar kuat. Hal ini membuat perempuan dan laki-laki kerap menjadi korban kekerasan yang bersumber dari ketidaksetaraan. Dalam tulisannya yang terkenal, "The Second Sex," Simone de Beauvoir menulis, "One is not born, but rather becomes, a woman." Kutipan ini mengungkapkan bahwa peran dan sifat perempuan atau laki-laki bukanlah sesuatu yang "alami," melainkan konstruksi sosial yang sering kali mengekang dan membatasi mereka, kemudian melahirkan kekerasan berbasis gender. Peran yang disematkan oleh masyarakat kepada perempuan sebagai pihak yang lemah dan bergantung adalah salah satu akar dari masalah kekerasan yang masih bertahan hingga kini.Â
Berbicara tentang stereotip gender, perempuan sering kali dihakimi melalui label tertentu. Meski tidak semua stereotip bersifat merugikan, dampaknya sering kali menghambat individu yang menjadi sasaran. Stereotip, seperti pisau bermata dua, dapat mempengaruhi persepsi dan pola pikir seseorang terhadap kelompok tertentu. Kenyataan ini mencerminkan bahwa dunia nyata kerap menghadirkan tantangan yang jauh dari ideal. Oleh karena itu, penting untuk mengedepankan kesadaran kritis dan upaya kolektif untuk mematahkan stereotip yang membelenggu, demi terciptanya lingkungan yang lebih adil dan inklusif.
Salah satu upaya yang dapat diperjuangkan bersama adalah melalui pendidikan kesetaraan. Caranya dengan melakukan penghargaan terhadap hak-hak asasi sejak dini agar generasi muda terbentuk dengan pandangan yang lebih terbuka dan bebas dari stereotip gender. Tanpa kesadaran ini, ketimpangan akan terus berulang dan menjadi lingkaran yang sulit diputus. Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan tidak diskriminatif diperlukan untuk melindungi korban serta memberi efek jera bagi pelaku kekerasan. Masyarakat juga memegang peranan penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung korban agar tidak merasa terisolasi. Dengan demikian, tindakan kekerasan berbasis gender dapat ditekan dan diatasi secara komprehensif. Perjuangan untuk mengakhiri kekerasan ini bukanlah tanggung jawab individu semata, tetapi merupakan tanggung jawab bersama dalam membangun masa depan yang lebih setara dan bebas dari kekerasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H