Mohon tunggu...
Nandya Wulan Wendari
Nandya Wulan Wendari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/ Univesitas Islam Indonesia

Seorang mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kemerdekaan Suriah: Harapan Baru atau Ancaman bagi Stabilitas Regional

19 Januari 2025   01:00 Diperbarui: 18 Januari 2025   17:56 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Suriah telah mengalami konflik antara rezim Assad dan kelompok oposisi selama kurang lebih 13 tahun. Gerakan oposisi yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) berhasil melengserkan pemerintahan Assad melalui aksi pemberontakan senjata pada tanggal 8 Desember 2024 (Heydemann & Dews, 2024). Dengan tercapainya kemerdekaan telah memberi harapan baru bagi masyarakat Suriah untuk mendapatkan stabilitas dan kedaulatan yang telah lama diperjuangkan. Namun sayangnya, kehancuran rezim Assad justru menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah kemerdekaan Suriah akan menjadi ancaman ataukah justru dapat membuka harapan baru bagi stabilitas regional.

Sejak dimulainya konflik bersenjata antara kelompok oposisi dan pemerintah di Suriah pada tahun 2011, negara ini telah mengalami kekacauan yang hingga saat ini belum terselesaikan. Adanya koalisi faksi oposisi bersenjata, krisis kemanusiaan, dan intervensi asing telah mengubah wajah Suriah dan mempengaruhi stabilitas regional. Sehingga dalam konteks ini, kemerdekaan Suriah atas rezim Assad merupakan hal yang perlu diperhatikan karena tidak ada gambaran secara jelas terkait apa yang mungkin saja terjadi selanjutnya. Adanya ketegangan tersebut menimbulkan berbagai respon dari negara-negara tetangga. Irak dalam hal ini mengungkapkan kewaspadaannya terkait gerakan oposisi yang menjatuhkan rezim Assad, dilihat dari faktor historis terkait keterlibatan salah satu pemimpin HTS dalam terorisme di Irak (Heydemann & Dews, 2024). Dengan demikian Irak mengambil langkah dalam menarik diplomatnya dari kedutaannya di Damaskus untuk menjaga stabilitas internal.

Pendukung kemerdekaan Suriah berargumen bahwa pengakuan atas kemerdekaan dapat memberi kesempatan bagi rakyat Suriah dalam menentukan nasib mereka sendiri dan melakukan rekonstruksi kedaulatan negara. Dengan mengakhiri intervensi asing dan kekuatan kelompok bersenjata, Suriah dapat dengan mudah melakukan rekonsiliasi dan pembangunan. Selain itu, Kemerdekaan Suriah dapat mengurangi ketegangan regional dengan menciptakan stabilitas yang lebih besar, yang pada waktunya kelak dapat berdampak positif pada konflik Israel-Palestina. Kestabilan Suriah dinilai dapat dimanfaatkan sebagai mediator dalam konflik tersebut, mendorong dialog dan kerjasama antara pihak yang terlibat.

Berbeda dengan argumen di atas, terdapat pandangan skeptis terkait kemerdekaan Suriah yang melihat bahwa langkah tersebut justru dapat bersifat boomerang bagi keamanan regional. Kekhawatiran tersebut berangkat dari adanya kekosongan kekuasaan yang bisa saja dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis yang dapat meningkatkan ketegangan di Kawasan tersebut. Runtuhnya rezim Assad justru dijadikan kesempatan bagi kelompok ekstremis untuk maju dan menguasai Quneitra di sisi barat daya Suriah (Heydemann & Dews, 2024). Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa kemerdekaan Suriah dapat menimbulkan reaksi negatif dari negara-negara tetangga, seperti Turki dan Iran yang memiliki kepentingan strategis di wilayah Suriah. Ketidakpastian tersebut dapat memperkeruh kondisi yang sudah buruk dan mengganggu stabilitas regional lebih lanjut (Alshamary et al., 2024).

Kemerdekaan Suriah merupakan isu kompleks yang menimbulkan banyak respon dari berbagai negara. Dalam hal ini terdapat harapan bahwa kemerdekaan dapat membawa stabilitas dan perdamaian bagi rakyat Suriah. Namun di satu sisi, terdapat kekhawatiran terhadap dampak signifikan seperti potensi ketegangan baru yang akan terjadi di kawasan tersebut. Kelanjutan politik domestik Suriah hingga saat ini masih belum menemui titik terang, tetapi dapat dilihat jelas bahwa terdapat aktor eksternal yang berusaha untuk membentuk politik Suriah. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh yang besar oleh politik Suriah terhadap kondisi politik regional di Timur Tengah. Dalam menghadapi dilema ini, peran organisasi internasional sangat diperlukan untuk mendukung proses yang inklusif dan berkelanjutan dengan tidak hanya terpaku pada kepentingan politik, tetapi juga tetap memperhatikan kesejahteraan rakyat dan keamanan internasional.

About the Author
Nandya Wulan Wendari adalah seorang Mahasiswi Universitas Islam Indonesia yang mengambil fokus studinya pada jurusan Hubungan Internasional. Memulai masa perkuliahannya pada tahun 2021, saat ini Nandya tengah menyusun tugas penelitian akhirnya yang berjudul "Peran Arctic Council dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim di Kawasan Arktik pada tahun 2020-2024". Selain itu Nandya tengah aktif mengikuti beberapa pelatihan profesi di beberapa bidang demi menunjang karir di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun