Mohon tunggu...
Nandito Putra
Nandito Putra Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah UIN Imam Bonjol Padang.

Penulis merupakan anggota aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Suara Kampus dan anggota Kajian Literasi Mahasiswa Konstitusi Fakultas Syari'ah UIN Imam Bonjol Padang.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Etika Politik untuk Kemajuan Demokrasi

17 Desember 2019   23:42 Diperbarui: 17 Desember 2019   23:53 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Jika kita melihat pandangan Ibn Khaldun (1332-1406), politik dinasti dinamakan ashabiyah. Ibn Khaldun menilai politik ashabiyah sebagai gejala yang bersifat alamiah. Sebab, umumnya penguasa selalu ingin merekrut orang yang memiliki hubungan darah sebagai bawahannya. Politik ashabiyah menurut bapak sejarah itu dapat menimbulkan kehancuran bagi negara. 

Dalam konteks hari ini, politik semacam itu merupakan persoalan serius. Karena dijalankan dalam suasana demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang. Politk dinasti lambat laun pasti akan mengganggu proses chek and balances dalam menyelanggarakan pemerintahan. Fungsi saling mengontrol tentu tidak akan berjalan maksimal jika jabatan publik dikuasasi oleh bagian dari keluarga atau kerabat. 

Padahal jika kita renungkan, untuk menyuburkan nilai-nilai demokrasi, fungsi kontrol sangatlah penting. Jika kontrol terhadap pemerintah lemah, budaya korupsi dan kolusi tidak akan dapat dicegah.

Penulis juga melihat ada indikasi bahwa pencalonan anak-menantu presdien dan wakil presiden adalah untuk mencari sensasi semata. Atau hal itu merupakan sebuah bentuk untuk memeberikan kehangatan bagi suasana perpolitikan jelang akhir tahun ini. Bukan tanpa alasan, sebab seperti yang sama-sama kita ketahui, mereka sama sekali tidak memiliki kapasitas yang meyakinkan sebagai pemimpi daerah. 

Terlebih lagi masih minimnya pengalaman dalam memimpin. Kita tentunya mengharapkan hadirnya pemimpin yang benar-benar matang dalam segala hal. Agar tidak terkesan jor-jor an dalam berdemokrasi dan hanya sebatas mencari sensasi.

Kita tentu mengharapkan siapa pun itu mereka yang merupakan bagian dari keluarga penguasa, sedapat mungkin untuk tidak berada dalam lingkaran kekuasaan. Karena hal itu akan berdampak baik bagi suasana berdemokrasi dan politik nasional. Alangkah baiknya anak-menantu presiden dan wakil presiden terus mengabdi kepada rakyat dan terus belajar untuk membangun integritas. 

Tidak mencari momen sebagai anak-menantu presiden! Etika dalam menggunakan hak politik dalam hal ini sangat perlu diperhatikan untuk menghindari anggapan bahwa pemerintah menyokong kembali timbulnya budaya politik dinasti. Semoga negeri ini semakin matang dan dewasa dalam menghadapi hal semacam ini. 

Peranan rakyat dan pers selalu diharapkan menjadi garda terdepan untuk mengawasi tindak-tanduk penguasa, agar segala bentuk perbuatan yang tidak sesuai dengan hati nurani rakyat tidak dilakukan. Mari kita cerdas dalam menanggapi budaya politik dinasti, dan selalu objektif serta kiritis terhadap jalannya penyelenggaraan negara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun