Mohon tunggu...
Nandito Putra
Nandito Putra Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah UIN Imam Bonjol Padang.

Penulis merupakan anggota aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Suara Kampus dan anggota Kajian Literasi Mahasiswa Konstitusi Fakultas Syari'ah UIN Imam Bonjol Padang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Representasi Masa Lampau untuk Urang Awak

9 Desember 2019   00:11 Diperbarui: 9 Desember 2019   00:25 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini begitu banyak tantangan yang mesti kita  dihadapi dari semua aspek kehidupan, tidak terkecuali menjaga kearifan lokal yang menjadi keunikan suatu masyarakat. Beberapa dekadae belakangan ini, kita melihat begitu masifnya penggerusan kearifan lokal yang terjadi di seluruh aspek kehidupan.

 Hal itu juga dialami oleh kita yang berada di ranah Minang ini. Sudah banyak terjadi pergeseran nilai-nilai yang sudah lama tertanam dan menjadi kebiasaan kita sebagai orang Minang. Kita pun secara terang-terangan menyaksikan hal itu dan secara sadar merasakan dampak dari hal itu. Lantas, mulai timbul pertanyaan mendasar, yaitu: bagaimana jadinya keadaan anak cucu kita di masa depan jika kearifan lokal tersebut benar-benar lenyap dan kita saat ini hanya pasrah dengan keadaan?

Tentu hal yang bisa kita upayakan saat ini adalah mulai menanamkan kembali jati diri kita sebagai masyarakat Minang dengan kearifan lokal yang pada masa lalu berhasil membawa kita pada puncak kejayaan, khususnya kita yang berada di Ranah Minang ini. Hal itu perlu kita upayakan sebelum kearifan lokal itu tenggelam ditelan zaman.

Sedikit kita membongkar ingatan kita yang selama ini kita kunci dengan sengaja maupun tidak sengaja akan keadaan dimana pada masa lalu, Minangkabau dengan kearifan lokalnya berhasil memberi suatu perubahan besar yang dampaknya masih kita rasakan hingga saat sekarang ini.   

Pada abad 19 hingga akhir abad 20 adalah masa dimana masyarakat Minangkabau sangat berpengaruh bagi perkembangan bangsa ini.  Pada masa itu terjadi revolusi mendasar dalam kehidpan masyarakat Minangkabau yaitu pembaharuan Islam serta terjalinnya bingkai yang menjadi falsafah orang Minang "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah". 

Hal tersebut juga didorong oleh sistem kehidupan yang masih alami dan belum terkontaminasi secara massif. Meskipun kita tahu pada saat itu, bangsa ini berada di bawah kekangan pemerintahan colonial. Namun hal itu tidak menjadikan orang Minang kehilangan indentitasnya. Sehingga sejarah telah mencatatnya sebagai prestasi yang sulit untuk dilampaui oleh masyarakat lain di Indonesia. Torehan tersebut adalah lahirnya genarasi emas termahsyur dalam 100 tahun ini seperti; Hatta, H. Agus Salim, M. Yamin, Buya Hamka, Sjahril, dan masih banyak lagi.

Generasi pada masa itu telah berhasil menjaga kearifan lokal dan identitasnya sebagai bagaian dari masyarakat yang khas dan unik, sehingga mereka berhasil memberikan perubahan untuk bangsa dan negara ini. Sekarang kita hanya bisa mengenang generasi emas itu dalam keabadian yang menjelma menjadi buku-buku yang jarang dibaca, patung-patung yang diabaikan, dan nama-nama jalan yang kita anggap biasa-biasa saja.

Secara garis besar, kita beranggapan bahwa yang membuat generasi pada masa itu menjadi begitu gilang gemilang adalah karena pada masa itu tekanan dari luar yang menjadikan mereka kuat. Kita juga beranggapan bahwa mereka bisa keluar dan menorehkan tinta emas karena memang situasi dan keadaan memaksa. Tidak bukan dan tidak lain adalah pada masa itu adalah masa dimana seluruh bangsa di dunia ini berusah untuk keluar dari kekangan kolonialisme dan imprealisme. 

Di sini penulis tegaskan bahwa asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar, dan cenderung hanya mendiskreditkan kedaan tanpa memandang bahwa pada masa itu, masyarakat Minang benar-benar menjaga esensi kehidupan yang berdasarkan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah dan juga tentunya falsah Alam Takambang Jadi Guru, serta sistem kehidupan yang dijaga dengan murni.

Malangnya kita hari ini di ranah Minang, hanya bisa mengenang tanpa mau belajar dari sejarah dan masa lalu. Kita seakan-akan lupa bahwa keadaan kita saat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan generasi yang hidup pada masa itu. Kesalahan terbesar kita sebagai bagian dari masyarakat Minang adalah terlalu santai dan enteng menyikapi keadaan. 

Rasa kepekaan dan daya kritis saat ini sudah tumpul dan terbuai oleh ayunan zaman yang menggerogoti masyarakat kita saat ini. Justru kesalahan kita saat ini hanya satu yaitu tidak maunya kita belajar dari masa lalu yang sudah jelas dan terang benderang dalam khazanah kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun