Jika kita membahas mengenai remaja tentunya kita tidak bisa memisahkannya dengan tahapan pubertas yang mereka alami. Masa pubertas tersebut tentunya mempengaruhi perkembangan jasmani maupun rohani dari sang remaja. Citra tubuh, minat berkencan dan perilaku seksual dipengaruhi oleh perubahan masa pubertas (Santrock.2003 dalam Pratama, dkk.2014). Dengan adanya perubahan yang dialami remaja saat melalui tahapan tersebut diperlukan pemberian pendidikan seksual terhadap mereka. Menurut pendapat Pratama et.al (2014:150), masa pubertas sendiri mempengaruhi beberapa remaja lebih kuat daripada remaja lain dan mempengaruhi beberapa perilaku lebih kuat daripada perilaku yang lain. Orang tua dan tenaga pendidik tentunya menjadi pihak terdekat yang diharapkan dapat memberikan pengarahan bagi para remaja pada masa pubertas, terutama pendidikan seks.
Pada umumnya, masyarakat Indonesia sendiri masih memandang pendidikan seksual dan hal hal berbau seksual sebagai sesuatu yang tabu. Maka dari itu, umumnya pendidikan seksual sendiri hanya diberikan pada saat saat tertentu saja. Padahal pendidikan seksual sendiri seharusnya diberikan secara bertahap dari usia dini (masa kanak-kanak) dan kemudian difokuskan lagi ketika sang anak sudah remaja. Hal ini disebabkan karena umumnya pada tahapan ini terjadi peningkatan rasa ingin tahu dan kecenderungan untuk mencoba hal baru, bahkan terhadap kegiatan-kegiatan yang berbau seksual.Apabila sang remaja sudah memiliki bekal ilmu yang cukup tentang suatu hal, maka ia tentunya akan memikirkan konsekuensi apabila (ketika akan) melakukan sesuatu.
Pendidikan seks di Indonesia bisa dibilang sangatlah minim dan dianggap sebagai sesuatu yang belum bisa di prioritaskan. Masyarakat indonesia kerap mengatakan bahwa ada saatnya para remaja untuk mengetahui hal-hal berbau seksual. Namun, menurut saya pendapat tersebut salah, karena apabila pendidikan seksual tidak diberikan secara bertahap maka para remaja di Indonesia bisa terjebak dalam perilaku-perilaku seksual yang didorong oleh rasa ingin tahu. Pendidikan seksual umumnya diberikan oleh orang tua pada saat sang anak sudah berada di masa remaja dan umumnya hanya pada masa itulah pendidikan seksual diberikan.
Para orang tua tidak memberikan pendidikan seksual sejak usia dini karena menganggap bahwa sang anak "masih kecil". Padahal sedari kecil para orang tua seharusnya mengajarkan atau memberi tahu pada sang anak mengenai bagian tubuh mana saja yang tidak boleh dipegang oleh orang lain, sebagai tahap pertama dalam pendidikan seksual. Pada masa ini anak harus diajarkan bahwa tidak semua orang dapat memegang bagian tertentu dari tubuhnya. Bagian yang bersifat pribadi pada umumnya yaitu area alat kelamin, pantat, dada dan bagian-bagian lain yang dirasa tidak perlu diekspos. Masyarakat kerap menyamakan pendidikan reproduksi dalam pelajaran Biologi dengan pendidikan seksual. Padahal keduanya berbeda tapi saling berkaitan, pendidikan reproduksi sendiri cenderung membahas mengenai fungsi dari alat reproduksi sedangkan pendidikan seksual lebih mngarah kepada penjelasan dan pengarahan mengenai perilaku seksual. Mata pelajaran agama juga kerap menyinggung mengenai pendidikan seksual, namun tidak dibahas secara tuntas. Yang dimaksud tidak tuntas disini adalah ketika pendidikan seksual hanya memeparkan mengenai fungsi alat reproduksi saja tanpa menjelaskan mengenai perilaku seksual dan penyimpangan serta dampaknya secara jelas.
Pada saat ini juga ada anggapan bahwa pendidikan seksual cukup diberikan sekali, baik itu oleh pihak sekolah ataupun pihak keluarga. Padahal pendidikan seksual tidak bisa diberikan secara keseluruhan dengan sekali pertemuan, biasanya bergantung pada orang keingintahuan dan motivasi dari orang yang menerima pendidikan seksual tersebut. Apabila hanya diberikan sekali tentunya sang remaja akan mencoba dan mencari tahu bagaimana rasanya melakukan kegiatan-kegiatan seksual serta apa dampaknya bagi mereka dan mencari alasan untuk dapat melakukan kegiatan tersebut. Pemberian pendidikan seksual yang tidak tuntas juga akan memicu perilaku seksual terlalu dini dan masalah penyimpangan seksual lain. Tentunya akan banyak terjadi permasalahan yang ditimbulkan oleh pendidikan seksual yang "tidak tuntas" tersebut. Hal yang akan mereka coba dapat berupa berpacaran, berciuman, bersenggama, dan perilaku seksual lain yang dirasa perlu dicoba untuk mengobati rasa penasaran mereka. Bahkan yang lebih buruk apabila sampai terjadi hamil di luar nikah karena tidak mengetahu dampak dari kegiatan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri.
Lantas bagaimana cara yang efektif dalam pemberian pendidikan seksual? Pendidikan seksual sendiri seharusnya diberikan secara bertahap, dari usia dini hingga sang anak telah matang atau dianggap sudah memahami secara keseluruhan mengenai hal berbau seksualitas. Pendidikan seksual sejak usia dini dapat dimulai dengan memperkenalkan bagian tubuh mana yang bersifat pribadi ataupun dapat juga menjawab pertanyaan sederhana "dari mana bayi berasal?' yang kerap diajukan anak-anak pada orang tua. Pada tahapan berikutnya, yaitu mengenalkan sang anak mengenai fungsi alat reproduksi dan masa pubertas beserta perubahan yang terjadi pada masa itu. Disusul dengan penjelasan mengenai perilaku seksual dan penyimpangan seksual yang ada beserta konsekuensinya apabila melakukan suatu kegiatan (perilaku) seksual. Cara pemberian secara bertahap juga dirasa ampuh dalam memberikan pendidikan seksual karena materi yang diberi sendiri disesuaikan dengan umur dan tingkat pemahaman sang anak.
Dianggap tabu dan diberikan secara tanggung-tanggung membuat sebagian anak minim pengetahuan mengenai seksualitas dan bahkan melakukan kegiatan seksual terlalu dini. Perlu ada kerjasama santara pihak orang tua, sekolah, dan pihak lain; untuk memberikan pendidikan seksual secara bertahap dan membuat wadah agar pendidikan seksual tersosialisasikan lebih baik pada masyarakat. Kemudian pemberian pendidikan seksual yang cukup dapat menghindarkan generasi penerus terjebak dalam perilaku yang belum saatnya muncul atau terlibat kegiatan yang belum pantas dilakukan. Kunci dari keberhasilan dalam pemberian pendidikan seksual itu sendiri adalah keterbukaan. Keterbukaan antara sang anak dengan orang tua sebagai pemberi pendidikan seksual mengenai apa yang mereka rasakan dan hal-hal yang mereka ingin tahu. Apabila tidak ada keterbukaan maka, ilmu yang disebarkan tetap memiliki dinding penghalang yang menghambat penyebaran ilmu.
Penulis, mahasiswa S1 Antropologi Budaya UGM yang merasa Pendidikan Seksual di Indonesia perlu di prioritaskan dan diberi wadah khusus untuk disosialisasikan kepada seluruh masyarakat. Terimakasih.
Referensi:
Pratama, Eggy , dkk.2014. HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG PENDIDIKAN SEKS DENGAN PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA REMAJA DI SMA Z KOTA BANDUNG. Jurnal Ilmu Keperawatan Vol. II No.2 pp 149-156.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H