Mohon tunggu...
Ayu Diah Nandini
Ayu Diah Nandini Mohon Tunggu... Konsultan - A human being.

I believe the power of mind

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami Seni dari Kacamata Danto

17 Januari 2014   22:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:44 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pertanyaan “apa itu seni?” merupakan sebuah kesejarahan panjang yang mengindikasikan warisan limitasi khas era modern. Pertanyaan ini sekaligus membuktikan betapa kentaranya institusionalisasi untuk mencapai kategori seni. Yang acapkali dijadikan sebagai indikator objek seni adalah konsep keindahan. Dalam mengkaji definisi seni, kali ini saya mengambil pandangan tokoh posmodern yaitu Arthur Danto.

Perjalanan historis seni di era kontemporer kemudian menjadi menarik. Ada upaya pendobrakan terhadap hal-hal yang sifatnya membatasi. Upaya ini kemudian terus berkembang dan diafirmasi banyak orang. Segala hal di dunia; anything, sah-sah saja memiliki posibilitas dikatakan sebagai seni. Ini menjadi konsekuensi logis atas radical openness yang menjadi paralogi berpikir masyarakat kontemporer. Hal ini nampak kontras dengan fine arts khas modern, yang meminggirkan beberapa kategori misalnya yang menjijikkan, yang rendah, yang menakutkan, dan sebagainya.

Problem definisi seni sejatinya terkait dengan sejarah apresiasi yang tersedimentasi, bahwa ada pengkultusan terhadap beauty. Proses dogmatisasi terus terjadi bahkan hingga hari ini. Bagi Danto, kesalahan yang timbul adalah pencampuradukkan antara goodness artistic yang diidentikkan dengan konsep beauty. Yang sungguh penting untuk digarisbawahi disini adalah, bagaimana eksplanasi intelektual begitu dibutuhkan dalam melihat suatu benda sebagai objek seni.

Danto memberi penekanan pada dimensi intelektualitas dan kreativitas manusia. Dengan dimensi tersebutlah, manusia mampu menginterpretasi suatu objek. Apa yang dikatakan sebagai seni kembali pada bagaimana interpretasi kita bermain. Misalnya saja pada karya artistik posmodern ternama, Fountain Duchamp. Sepintas, memang tidak lazim jika kita lihat urinoar dijadikan sebagai karya seni. Namun dalam interpretasi kreatif, dengan menempatkan konteks urinoar tersebut di galeri seni dan ada nilai estetis visual yang terhadirkan, maka kita dapat menangkap bahwa itu adalah objek seni. Dengan interpretasi, urinoar eksis sebagai objek seni. Ini yang membedakannya dengan benda-benda non seni lainnya. Perubahan struktur seni dapat terjadi ketika subjek-subjek memiliki perbedaan justifikasi terhadap seni itu sendiri.

ReferensiThe Abuse of Beauty, Aesthetics and The Concept of Art karya Arthur Danto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun