Mohon tunggu...
Nandi Rahman
Nandi Rahman Mohon Tunggu... -

hidup itu isinya belajar dan praktek dua hal ini yang kadang tidak konek. Menulis di kompasiana ya untuk tujuan dua hal itu... Tinggal di Jakarta, pekerja lepas

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

9 Alasan Ngeblog di Kompasiana

7 Januari 2011   03:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:52 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja berhasil membuat akun blog di Kompasiana. Awalnya seorang blogger yang kesulitan bergabung di kompasiana, lalu sayapun ikut-ikutan membuat yang tujuannya untuk memberikan petunjuk. Ehh, malah sayapun ingin bergabung dan belajar menulis. Karena ternyata isi tulisan di blog-blog kompasioner sangat mencerahkan dan terutama diskusi dan komentarnya pun tidak kalah menarik. Budaya menulis memmang tidak mudah berkembang manakala tidak dibiasakan. Kebanyakan kita, tertarik untuk bicara, padahal jika ilmu yang diucapkan itu dapat dituliskan, maka tidak mustahil ilmu akan berkembang. Sebab perkembangan itu akan bisa dirasakan makanala  diciptakan dalam bentuk tulisan. Tentu saja, tujuan saya ikut bergabung dengan kompasiana, untuk belajar menulis dan belajar dengan benar.  Bahasa yang saya miliki tidak serta merta efektif manakala tidak bisa dituangkan dalam tulisan. Bahasa tutur yang setiap hari dikumandangkan kepada setiap orang di sekitar akan terdengar sumbang, sumir dan terkadang mengganggu orang lain. Namun bila ditulis dan dijelentrehkan dalam kalimat-kalimat sederhana niscaya akan memberi efek yang positif bagi dunia sekitar. Tapi itu maunya, kalau pada kenyataanya tidak bisa berdampak positif, tentu menjadi wahana belajar yang sangat baik. Inilah beberapa alasan klasik, yang melatarbelakangi saya ingin menulis blog kompasiana:

  1. Suara tulisan lebih jauh dibanding suara mulut dalam ucapan. Dengan menulis akan ada banyak aktifitas yang menyertainya, berbeda dengan ucapan. Kalau di dalam ucapan hanya terdengar sekian jarak, maka dengan tulisan akan terdengar hingga ke ujung jagad ini. Bahkan sampai langitpun bisa memantau tulisan.
  2. Suara via tulisan membutuhkan kerjasama organ tubuh. Jika suara di mulut hanya membutuhkan kontraksi otot mulut dan pita suara, maka tidak dengan suara tulisan. Ia akan membutuhkan koordinasi antara mata, fikiran, tangan untuk mengetik, sumber belajar berupa bacaan juga kemampuan mengolah dan menata kata, membutuhkan ketermapilan lain.
  3. Suara via tulisan bertahan lama dan disimpan dalam waktu tidak terbatas. Dengan rekaman di internet, maka tulisan akan bisa bertahan lama dan sering ditemukan oleh orang yang membutuhkannya. Berbeda dengan tulisan via mulut, akan terekam oleh orang yang mendengarnya saja dan tidak bertahan dalam waktu yang lama. Sekarang bicara, besok dilupakan. Terkecuali ucapan yang menyakitkan akan menjadi imbas negatif yang sifatnya lama.
  4. Suara dalam tulisan bergema seperti resonansi. Sebuah tulisan yang saya amati di kompasiana, akan dikomentari dan dibaca tanpa komentar. Tentu saja, ini yang  saya sebut resonansi. Sebuah reaksi dari suara yang memantul kepada kita saat tulisan dibuat. Reaksi berupa setuju atau tidak setuju, kritik dan sanggahan sangat berguna bagi seorang penulis. Bandingkan dengan suara via mulut, reaksi yang didapat kadang tidak serta merta setuju bila ucapan kita disanggah atau dibantah. Terkecuali dalam sebuah diskusi atau forum resmi.
  5. Suara via tulisan menunjukkan kedalaman seorang penulis. Maksudnya bukan kedalaman ilmunya tetapi kedalaman pada sebuah pengalaman menulis dan kepandaian mengemas informasi. Orang yang tidak biasa menulis namun ilmunya mumpuni, kadang kesulitan mengemasnya. Namun orang yang ilmunya sekedar saja, tetapi terbiasa menulis, maka informasi apapun menjadi menarik. Dalam hal ini, menulis adalah bersuara dengan etika dan gaya.
  6. Suara via tulisan mengandung seni. Berbeda dengan puisi ucap dan sajak, tulisan puisi akan bisa dirasakan berbeda bagi pembaca. Bahkan antara yang misteri dan yang menampak akan jelas terasakan apa yang tidak ditulis.
  7. Menulis menjelaskan secara runut terhadap sebuah pengalaman. Adapun  bertutur hanya menceritakan apa adanya sebuah kejadian.  Menariknya bahasa tulis bisa dibaca ulang, ditelaah dan dikoreksi, sedangkan bahasa tutur sulit dimodifikasi manakala sudah terucapkan.
  8. Berbicaralah yang baik saja, jika perlu diamlah. Begitu kata sebuah hadits Nabi SAW. Jika dalam bentuk tulisan, tentulah kalimat itu berindikasi menulislah yang baik-baik dan bermanfaat jika tidak maka jangan ditulis. Namun demikian, terkadang dengan tulisan, hal buruk bisa dikemas dengan baik, akan berdampak positif. Di sinilah perlunya gaya tulisan mampu menjembatani perasaan penulis dalam bentuuk kata-kata.
  9. Bacalah atau  tulislah. Perintah membaca tidak heran menjadi awal mula sebuah wahyu Al Quran. Namun bacaan akan sia-sia tanpa dituliskannya. Karenanya, perintah membaca itu disertai dengan perintah menulis.  Sebab Tuhan mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam, dan Tuhan telah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun