Sahabat (Tak) Pernah Ada
Angin berhembus lembut, menembus wajah seorang gadis yang sedang duduk termenung memandang pemandangan yang ada didepannya. Atap gedung sekolah yang sepi, dijadikan olehnya sebagai tempat untuk menghindar, menjauhi orang-orang yang ada disekitarnya. Dia ingin sendiri, tak ingin menemui siapapun. Perlahan air mata jatuh dipipinya, membuatnya tak henti memikirkan apa yang telah dia alami selama Enam bulan terakhir. Enam bulan sudah ia tinggal di Desa yang memiliki pemandangan yang menakjubkan. Dan di sekolah khusus perempuan ini pula, dia belajar, bermain dan memiliki kenangan yang tak terlupakan. Sekolah yang sangat terkenal dengan prestasi-prestasi muridnya ini, telah menyimpan kenangan Mila selama 6 bulan dia bersekolah. Kenangan yang kejam. Itu semua terjadi karena seseorang anak perempuan. Anak perempuan pendiam yang membuatnya penasaran mengapa dia tak memiliki sahabat ataupun teman di sekolah. Anak perempuan yang selalu berdiam diri diatap sekolah saat istirahat, padahal murid-murid kebanyakan lebih senang menghabiskan waktu istirahat di kantin atau taman sekolah. Naura, anak perempuan yang menjadi bahan bully sebuah kelompok anak-anak kaya, dimana dalang dari semua itu adalah Reina. Reina, seorang gadis keturunan Belanda yang memiliki keluarga yang sangat kaya. Ayahnya yang seorang pengusaha terkenal dan selalu menyumbangkan beberapa uang ke sekolah tersebut, membuat dirinya begitu seenaknya mengatur apa yang terjadi di kelas. Banyak murid tak ingin berurusan dengannya. Jika ada seseorang yang menentangnya, Reina akan membuat kehidupan sekolah orang tersebut hancur. Seperti yang dialami Naura, karena tidak ingin meminta maaf dan bersujud pada Reina, kehidupan sekolah Naura menjadi sangat tak terkendali. Reina salah satu dari murid berprestasi di sekolah, dia selalu dijadikan perwakilan dari sekolah dalam banyak perlombaan. Tetapi semua gelar itu lenyap begitu saja dari sisi Reina, sejak kedatangan Naura. Seakan-akan Naura mengambil semua kebahagiannya, Reinapun tak tinggal diam akan hal itu, dia membully Naura. Membuat Naura dijauhi oleh teman-temannya. Membuat para guru tak mempercayai Naura lagi dalam banyak perlombaan. Reina memiliki cara dan waktu yang baik dalam melakukan hal-hal tersebut, sehingga tak seorang guru dan orang luarpun yang tau tentang kejadian ini.
***
Mila teringat kejadian 4 bulan lalu, sejak ia datang, semua itu berubah. Gadis pindahan asal kota ini mengetahui tentang pem-bully-an yang dilakukan Reina. Pagi itu saat belum banyak orang yang datang ke sekolah, Mila mendapati Reina dan geng-nya tengah membawa ember-ember berisi air bekas cucian. Air itu terlihat kotor. Rasa penasaran Mila pun membuatnya membuntuti Reina hingga ke toilet. Di sana ada Naura, duduk di bangku dengan ikatan dikaki dan tangannya. Tiba-tiba salah satu teman Reina menyiramkan ember-ember yang berisi air kotor tersebut pada Naura. Mereka tertawa keras, seakan-akan telah melakukan hal yang sangat membahagiakan. Naura yang duduk dibangku hanya menunduk dan terdiam, tidak mengatakan apapun, tidak melawan pula. Hal itu membuat Mila jengkel. “Apa yang kalian lakukan padanya,” Mila mendobrak masuk toilet, matanya yang begitu marah dan terkejut membuat Reina kaget. “Hai Mila, kamu telah melihatnya? Ini menyenangkan, kau tau? Jadi jangan merusak kesenanganku, oke?”, mata Reina seperti memancarkan aura terburuk yang dirasakan oleh Mila. Mila begitu kaget mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Reina. Reina yang selama ini terlihat sopan, pintar, dan sangat baik, ternyata semua itu hanya akting. Mila terdiam, dan melihat Naura yang masih menundukkan kepalanya. “Lebih baik kau keluar dari sini, jika kau ingin selamat, anak baru!”, seseorang dari kelompok Reina berkata dengan suara keras. Mila terdiam, kemudian dia membalikkan badannya dan keluar dari toilet. Naura mengangkat kepalanya dan memandang punggung Mila yang semakin menjauh dari hadapannya. Air mata jatuh dipipinya, dia sudah terbiasa dengan perlakuan Reina, tak pernah dia menangis sebelumnya, tetapi mengapa dia menangis seperti ini? “Dia memang sangat pintar, memilih untuk keluar dari sini. Ayo, kita juga keluar!”, Reina berucap. Naura yang menatap kelompok tersebut keluar. Ia mulai mengeluarkan suara tangis yang ia pendam dari tadi. Tiba-tiba seorang gadis masuk, dia membawa gunting dan handuk yang diambil dari lokernya. “Kamu tidak apa-apa? Maaf tadi aku keluar, aku mengambil ini dulu. Agar bisa melepaskanmu dari ikatan ini”, Mila dengan wajah cemas memandang Naura. Naura menatap Mila, ternyata masih ada yang peduli padaku, pikir Naura.
***
Sejak saat itu kehidupan Mila berubah. Dia melewati banyak kejadian buruk dengan Naura. Karena Mila membela Naura mati-matian, dan menentang Reina, Mila juga dijadikan target bully ke-dua setelah Naura. Dia bertekat tak akan menangis hanya karena ini. Dia ingin melewati semuanya, selagi bersama Naura dia akan tetap kuat. Dia tak pernah mengatakan hal ini pada ibunya, dia tak mau membuat ibunya berpikir untuk kembali ke kota. Itu akan membuat kehidupan ibunya kembali memburuk. Dia pernah mencoba mencari bantuan dari banyak orang, tetapi sekali lagi, karena kekuasaan Reina dan mulutnya yang bisa menghipnotis orang dengan kata-kata yang sopan, membuat banyak orang tak percaya pada Mila. Ya, hanya satu cara, yaitu dengan cara diam dan melewati semuanya. Hanya tinggal 1 semester lagi, dia akan lulus dari sini. Dia akan mengajak Naura untuk kuliah bersama, pergi dari desa ini. Tetapi seperti petir disiang bolong, yang tak diketahui sebab kedatangannya, apa yang disampaikan oleh bu guru didepan kelas membuat semua keinginan Mila itu lenyap. Saat mengetahui bahwa Naura pindah dari sekolah, membuatnya memikirkan apa yang terjadi dengannya dan Naura sebelum ini. Tidak terjadi apa-apa. Naura tak mengatakan apapun padanya, padahal kemarin malam mereka berdua masih berbincang-bincang di rumah Mila. Sahabatnya itu terlihat seperti biasa, tertawa padanya. Tapi mengapa pagi ini dia tak ada? Apa maksudnya ini? Apa Naura meninggalkan ku? Apakah dia tak menganggapku sahabat? Mila hanya bisa menangis memikirkannya. Menyesali perbuatannya dulu saat ia membantu Naura. Ternyata tak ada yang namanya sahabat didunia ini, tak ada.
***
Siang itu matahari seperti mengikhlaskan sinarnya. Menyinari kota yang padat dengan aktivitas-aktivitasnya. Di sebuah kampus, seorang gadis duduk dibangku taman, dia terlihat sedang membaca sebuah buku. Beberapa detik kemudian dia menutup bukunya dan mengambil handphone dari dalam tas. Dia membuka kontak, dan melihat satu panggilan tak terjawab. Mila teringat, beberapa hari yang lalu dia mendapat telepon dari seseorang. Seseorang yang dia kenali suaranya. Dan dia tak ingin mendengar suara itu. Sudah 1 tahun sejak dia lulus dari sekolah itu dan pindah dari desa itu. Desa yang mengingatkannya pada Naura, sahabat yang telah mengkhianatinya, untuk apa dia menelpon Mila disaat seperti ini? Mengapa tidak saat dulu, saat Mila melewati banyak masalah karena Naura? Tiba-tiba seseorang yang menghampiri Mila memecahkan lamunannya, seorang wanita paruhbaya tersenyum padanya. Mila kenal dengan wanita tersebut. Wanita itu duduk disamping Mila. “Mila, Saya ibunya Naura, kamu ingat?”. Mila mengangguk.”Naura meminta tolong pada ibu untuk menemuimu sebelum dia pergi”, wanita memandang Mila. Mila terkejut, “Maaf bu, apa yang sedang ibu bicarakan? Apa yang terjadi pada Naura?”. Wanita itu terdiam, matanya yang terlihat bengkak seperti habis menangis seharian penuh, menjawab semua pertanyaan Mila. “Kamu bisa ikut ibu sekarang? Ke makam Naura? Dia pasti sangat merindukanmu, Mila”. Terasa jantung Mila berdentam sangat kuat, membuat matanya mengeluarkan air mata. Tidak mungkin, Naura..
***
Mila terduduk di depan makam Naura. Dia menatap makam dengan pikiran kosong. Tak menyangka kalau sahabatnya itu akan pergi begitu cepat. Dia melihat tangannya yang menggenggam sebuah surat. Yang membuatnya tak habis pikir, mengapa Naura melakukan ini.
“Untuk sahabat terkasihku, Mila.
Maaf, maaf, maaf.. Aku tak tau harus bilang apa selain maaf. Aku tak tau harus melakukan apa saat bertemu denganmu. Aku hanya merasa sangat bahagia saat bertemu denganmu, sahabat. Aku tak punya kata-kata yang dapat menghiburmu. Tak punya kata-kata yang mantap agar kamu bisa memaafkanku. Aku juga tak memikirkan bahwa kamu akan sangat membenciku. Ku selalu perpikir, kalau kamu hanya sekedar ngambek, dan kemudian kembali tersenyum padaku. Maaf karena aku tak memikirkan perasaanmu. Saat itu aku benar-benar bingung. Penyakit yang tak sembuh-sembuh, membuatku mengikuti saran orang tuaku untuk pergi ke kota. Maaf, aku tak pernah mengatakan kalau aku punya penyakit serius. Aku tak ingin membuatmu terlalu melindungiku saat itu. Aku tak ingin kau merelakan dirimu untuk menggantikanku pada mereka. Aku selalu berpikir, selagi aku bersamamu, itu tak apa sahabat. Maaf kan keegoisanku, yang sempat berpikir tak apa di-bully selagi kita selalu bersama. Maafkan aku sahabat.. Walau aku seperti ini, Kamu tetap anggap aku sahabatkan, Mila? “
(Karya Nanda Yulistia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H