tradisi Kejawen masih dijalankan oleh banyak masyarakat Jawa, seperti dalam ritual nyadran, mitones, tedhak siten, dan wetonan.
Secara umum, Kejawen merupakan bagian dari budaya yang mengandung ajaran utama, yaitu konstruksi aturan untuk mencapai kehidupan yang baik. Meskipun dianggap oleh sebagian sebagai representasi masa lampau,Nyadran, sebagai contoh, adalah upacara sebelum puasa yang melibatkan berziarah ke makam dan menabur bunga. Mitones, khusus untuk wanita yang pertama kali menggendong bayi, dilakukan pada usia kehamilan tujuh bulan. Tedhak siten adalah ritual mempersiapkan anak untuk masa depan sukses, sementara wetonan mirip dengan ulang tahun dalam penanggalan Jawa.
Selain ritual tersebut, slametan juga merupakan bagian penting dari tradisi Kejawen. Slametan, menurut Koentjaraningrat, adalah upacara seremonial sederhana yang melibatkan makan bersama, makanan yang diberkati, dan pemulihan keselarasan antara tetangga dengan alam. Nilai-nilai seperti kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan tercermin dalam slametan.
Namun, perkembangan zaman membawa perubahan pada tradisi slametan. Penggunaan peralatan tradisional (ubo rampe) dan beberapa sesaji mulai berkurang. Sebagai contoh, Kampung Banjar Agung awalnya mengidentifikasi diri sebagai komunitas tradisi religi agraris, tapi kemudian beralih menjadi komunitas tradisi religi massa dalam NU pada 1997. Slametan kemudian digantikan oleh tradisi yasinan dan hanya dilaksanakan pada momen-momen tertentu, seperti Megengan menjelang bulan ramadhan.
Kondisi ekonomi antara 1990-1997 juga memengaruhi eksistensi slametan. Kesulitan ekonomi menyebabkan pelaksanaan slametan menjadi sederhana, dengan banyak unsur tradisi yang mengalami perubahan frekuensi dan intensitasnya. Penggunaan kemenyan, doa, dan ucapan selamat ngujubke yang semula merupakan budaya, berubah menjadi tradisi yang masih dilakukan.
Pada perkembangan selanjutnya, unsur-unsur tradisi Kejawen semakin tidak terlihat. Upacara baru muncul, seperti pengiriman Al-Fatihah kepada keluarga almarhum. Perubahan ini mencerminkan kelangsungan hidup tradisi masyarakat Jawa di Kampung Banjar Agung dari 1982 hingga 2012.
Perubahan tersebut disebabkan oleh faktor internal seperti perubahan jumlah dan komposisi penduduk, serta faktor eksternal seperti perubahan lingkungan, penemuan baru dalam pendidikan dan teknologi, serta difusi budaya. Hal ini menunjukkan dinamika kehidupan masyarakat yang terus berubah seiring dengan waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H