Kota Malang terkenal dengan tempat wisata yang begitu banyak. Begitu Juga dengan wisata Sejarah Kota Malang. Kota Malang resmi menjadi Kota sendiri pada tahun 1914. Sebelumnya Malang masih menjadi bagian dari Pasuruan. Malang juga memiliki slogan Malang Kucecwara yang berarti Tuhan Menghancurkan yang batil. Slogan ini diberikan bukan hanya sebagai kata-kata tak bertuan, pasalnya Kota Malang merupakan Kota yang Memiliki seribu satu candi dan situs kuno yang bertebaran di penjuru kota. Kali ini saya akan  menceritakan pengalaman saya setelah mengikuti acara ini.
Acara ini diselenggarakan pada tanggal 12 November 2023, hari Minggu. Dengan total peserta berjumlah 14 orang kami berangkat pukul 09.00 pagi dari Rumah Budaya. Pada awalnya kami hanya memiliki 4 destinasi yang hendak dikunjungi yakni, Candi Singosari, Kampung Budaya Polowijen, Grha Tumapel, dan Kampung Heritage. Namun, dalam perjalanan salah seorang peserta mengusulkan ke Pemandian Watu Gede dan Prasasti Pasrujambe Hotel Tugu.
Kami mulai menyusuri kota Malang dari arah Utara, tepatnya di candi Singosari dan Dwarapalanya. Candi Singosari adalah candi yang memiliki Dwarapal terbesar, yakni dwarapala yang memiliki tinggi 2 meter.  Candi Singosari sendiri merupakan candi yang didirikan untuk penghormatan  kepada raja terakhir Singosari, Raja Kertanegara pada abad 14. Kemudian, kami ke tempat petirtaan Watugede di sisi timur dari candi. Tempat ini Pula yang merupakan tempat bertemunya Ken Arok dan  Ken Dedes. Konon katanya disini merupakan tempat pemandian para danyang dan juga Ken Dedes. Disini pula tempat Ken Arok jatuh hati pada pandangan pertama dengan Ken Dedes.
Setelahnya, kami terus ke arah Selatan menuju Kampung Budaya Polowijen. Di tempat ini terdapat 3 situs yang kami dapat yakni, Sumur Windhu/Sendang Dewi Kunti, Watu Gong, dan Makam Mbah Reni (pelopor Tari Topeng kota Malang). Lalu beranjak menuju Grha Tumapel, sekaligus melakukan Ishoma. Grha Tumapel sebenernya merupakan peristirahatan para afdeling, pengusaha, saudagar , ataupun pejabat tinggi Belanda. Sebelumnya Grha Tumapel mempunyai nama Seplindidd inn. Bangunan tua dengan nuansa ornamen Belanda ini merupakan bangunan termegah di masanya. Namun, ketika Belanda sudah tidak lagi menempati Indonesia bangunan ini dibiarkan tak terurus. Â Usai menyusuri bagian dalam Grha Tumapel kami berjalan menuju Hotel Tugu, menelik 2 prasasti yang tersimpan di dalam Hotel. Dalam Prasasti Pasrujambe dan Widodaren tersebut tertulis sebuah kalimat menggunakan Aksara Jawa Kuna.
Setelah kami puas menyaksikan 2 Prasasti tersebut, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Kayutangan Heritage. Kami berjalan menyusuri kampung Heritage yang dahulunya merupakan desa Talun di era Kerajaan Singosari. Di Dalam kampung juga terdapat makam Mbah Honggo selaku tokoh yang menyebarkan Agama Islam pada masa Diponegoro di kampung tersebut. Lalu kami kembali menyusuri bahu jalan Kayutangan yang dahulunya juga merupakan Bangunan era kolonial. Rumah sisi jalan raya Kayutangan dahulunya merupakan rumah milik anak pejabat tionghoa di Kota Malang. Disini juga kerap menjadi pusat keramaian, terutama ketika di malam hari.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H