Ramadhan memang bulan berkah. Tidak salah jika banyak orang menyambut bulan ini secara gegap gempita dan dengan berbagai cara. Salah satu berkah dari kehadiran bulan yang disucikan umat Islam ini adalah adanya produksi kata-kata secara massif dan serentak. Setidaknya sejak H-3 sampai H+2 pelaksanaan hari pertama puasa, kata-kata saling berloncatan dari hape ke hape lewat medium SMS atau bertebaran dalam blog-blog pribadi dan situs-situs jejaring sosial semacam facebook, twitter, atau lainnya. Isinya berkisar pada ucapan selamat berpuasa dan mohon maaf.
Saya kutipkan satu SMS yang masuk ke inbox hape. "Walau mata tak menatap dan tangan tak berjabat, tapi hati terkait erat untuk memohon maaf lahir batin. Semoga suci hati membawa kita mengarungi bulan suci. Marhaban, ya Ramadhan!" Seorang teman memperlihatkan SMS yang diterimanya dalam bentuk pantun. "Pecah kaca tertimpa besi/ Dalam gelap dipasang lilin/ Karena puasa gak lama lagi/ Mohon maaf lahir dan batin..".
Dalam dunia maya, kalimat-kalimat seperti dikutip di atas lebih berlimpah jumlahnya. Secara kreatif, sejumlah orang bahkan mengumpulkan ucapan-ucapan yang berkaitan dengan bulan puasa dalam blog pribadinya. Misalnya, ada tulisan yang berbunyi: "Anak nelayan mengail ikan/ Perahu berlabuh ke tengah lautan/ Sambil menunggu datangnya bulan Ramadhan/ Gak ada salahnya kan aku minta maaf duluan" di www.emfajar.net. Masih di situs tadi, ada juga ucapan serupa promo, "Obral pahala besar-besaran: Discount Dosa s.d 99% + door prize "Lailatul Qodr". Hanya 30 Hari selama bulan Ramadhan." Dari www.newoes.com, ada pantun: "Angin tertiup dari arah selatan/ Angin barat datang dari buritan/ Kini datang bulan suci ramadhan/ salah dan dosa mohon dimaafkan." Dalam www.blogious.com, ada surat yang ditulis Choirin Nur, "Ass. Wr. Wb. Selamat datang dalam penerbangan "Ramadhan Air" .... dengan nomor  penerbangan RA 1431 H...Tidak lama lagi kita akan menempuh perjalanan selama 30 hari dan memasuki wilayah "Puasa"... Bila terjadi guncangan dalam perjalanan, kuatkan sabuk pengaman Zikir, Tahajud & Amal Shodaqoh kita, supaya ... mendarat mulus di Bandara Internasional "Idul Fitri1 Syawal 1431H..".
Pemilihan kata dengan permainan bunyi (rima), yang menjadi salah satu ciri yang melekat pada puisi misalnya, tampak terpenuhi dalam contoh ucapan-ucapan menyambut bulan puasa di atas. Ya. Bulan Ramadhan telah mengilhami banyak orang untuk mengolah kata-kata dan menyusunnya menjadi kalimat-kalimat puitis dan indah. Tentu saja kalimat-kalimat yang kemudian terbentuk itu sulit untuk dibantah sebagai karya sastra.
Saya percaya, kalimat-kalimat tersebut juga akan bermunculan menjelang lebaran tiba. Saya juga percaya, hal yang sama terjadi pada momen-momen lainnya, baik dalam agama Islam maupun dalam agama lain. Ini sangat menarik. Momen keagamaan telah memberikan energi pada banyak orang untuk memperlakukan kata tak ubahnya para sastrawan, sekalipun mereka tidak serta merta lantas disebut sastrawan. Sampai di sini, muncul pertanyaan. Tidakkah kita sedang berhadapan dengan sebuah genre sastra: sastra momentum?
**
Sastra momentum adalah sebuah keniscayaan. Ia akan selalu hadir pada setiap momentum secara konstan. Bukan saja momentum keagamaan, tapi juga pada momen-momen lain yang ditandai sebagai peristiwa penting di masyarakat. Cakupan momentumnya pun tidak mesti berskala internasional, nasional, maupun regional dan lokal. Bahkan pada tingkat personal pun, biasanya selalu ada momen yang ditandai sebagai peristiwa penting. Misalnya, hari ulang tahun, hari jadian orang berpacaran atau menikah, dan sebagainya. Semua momentum tersebut ternyata menjadi ladang subur tempat sastra bertumbuh dan dipanen. Dengan demikian, sastra momentum menjadi penanda bagi keakraban sastra dengan masyarakat. Ia menjadi bagian integral dari kesadaran manusia atas historisitasnya dalam ruang dan waktu.
Sastra momentum adalah sebuah kebersahajaan. Ia tidak mensyaratkan orang untuk terpetakan dalam sejarah sastra. Yang sastrawan dan yang bukan sastrawan, menurut peta kesastraan, boleh ambil bagian untuk mengekspresikan perasaan terdalamnya terkait dengan momentum yang tengah dihadapi. Dengan demikian, sastra momentum menjadi penanda bagi egalitarianisme dan semangat partisipatoris.
Selain itu, boleh jadi, karya sastra yang muncul dari kontek momentum tertentu tidak diniatkan menjadi karya abadi. Sebagian orang mungkin tetap bersukacita dan riang gembira meski karyanya itu kemudian terlupakan seiring dengan berlalunya momentum. Dengan demikian, sastra momentum mempertegas aspek-aspek ludik dalam konsepsi homo ludens dari Huizinga (1872-1945), seorang filsuf Belanda.