Pengantar:
Tulisan jadul ini (ditulis pada 28 April 1998) adalah resensi atas buku puisi Bebegig (Kumpulan Puisi 7 Penyair Serang) yang diterbitkan pada 1998 hasil kerjasama Lingkaran Sastra & Teater (LiST) Serang dan BIDUK Bandung. Saya lupa, tulisan ini telah terpublikasikan atau tidak sebelum ini.
PUISI YANG BERGULAT DENGAN KAMPUNG HALAMAN
Dalam situasi “gagap” yang meliputi banyak segi kehidupan seperti dewasa ini, meminjam ungkapan Korrie Layun Rampan (PR, 8/3/1998), berpuisi kiranya dapat memberikan makna tersendiri. “Jika politik kotor, puisilah yang membersihkannya,” kata mendiang John F. Kennedy. Sikap seperti ini ternyata menjadi pilihan tujuh penyair Serang yang mencoba membersihkan atmosfir kotanya yang mulai dipenuhi polusi.
Setelah menerbitkan Ode Kampung Halaman pada 1995, Gola Gong dan Toto ST Radik berhasil “menghasut” rekan-rekannya untuk mewujudkan penerbitan antologi puisi para penyair Serang. Penerbitan ini, menurut Toto ST Radik, merupakan impian yang sempat terpendam selama sepuluh tahun. Maka, lahirlah Bebegig yang menandai dimulainya pergulatan antara 7 penyair dengan kampung halamannya. Secara alphabet, ketujuh penyair yang terlibat dalam antologi tersebut adalah: Asep GP, Bagus Bageni, Bambang Q-Anees, Gola Gong, Purwo Rubiono, Tias Tatanka dan Toto ST Radik.
Membaca puisi-puisi dalam Bebegig, saya menemukan warna duka yang cukup pekat --bahkan nyaris tanpa harapan-- sebagai perkabungan atas nasib yang menimpa sebuah kota yang sempat jadi pusat Kesultanan Banten. Simaklah, misalnya, rintihan Bagus Bageni dalam Surosowan Pada Catatan Duka yang merindukan masa silam Banten: aku mencari-cari keberadaan dirimu/ di antara batu-batu purba itu/ surosowan, demi malam kan kukutuk bulan menjadi awan/ kalau menggugurkan impianku membacakan kisahmu.
Tapi apalah daya. Rintihan Bagus Bageni hanya tinggal impian. Masa lampau Serang secara khusus dan Banten pada umumya, kini telah menjadi penghuni musium. Sementara kehidupan adalah mesin sejarah yang tak pernah berhenti menggelinding. Hal inilah yang disadari Asep GP, penyair pembina kelompok musikalisasi Minuit yang beranggotakan para pedagang kaki lima Pasar Lama Serang. Dalam Tanda Baca, ia mengumumkan penghayatannya: Aku tak lagi membicarakan tentang titik/ Koma mungkin lebih baik/ Tak akan lama berhenti/ Membaca pelan-pelan tentang hidup/ Setelah titik akan ada huruf besar/ Untuk memulai kalimat/ Di belakang koma tak/ Terus mengalir tanpa perubahan yang berarti/ Hidup tak akan berhenti. Tidak ada cara lain buat mereka kecuali menjalani perubahan demi perubahan yang terus diolah menjadi irama pembusukan. Tanpa daya, Bambang Q-Anees menyaksikan prosesi ini. “Sibuk niaga mencoret aksara suci/ Semua dihantui darah dan lada, amarah dan kekalahan/ Berkeliaran di cakrawala/ Awan mengundang garis hitam/ Bisu batu dan batu karang menyusun tanda kabung,” tulisnya dalam Di Musium kota.
Selain pencitraan kampung halaman yang sosoknya secara fisik telah berubah, buku ini juga menggambarkan keprihatinan mendalam mengenai perubahan nilai-nilai di masyarakat. Sajak Potret yang ditulis Purwo Rubiono bertutur: Aku tak peduli seberapa penting kampung halaman/ tetapi perlukah mengabaikan cinta/ yang tertanam di setiap jengkal tanah. Tragis. Pembangunan yang melanda Serang demikian menderu dan meraung memberangus nilai-nilai yang semula dikenal luhur. Toto ST Radik menilai bahwa semua itu tidak membuahkan apa pun. Dalam Lelaki Dalam Selubung Cahaya, ia menulis: Aku tersengal ketika terjaga/ di luar kamar: hujan menderas/ di atas kepalaku: sebatang rumput mengering.
Dalam situasi gagap seperti demikian, sebagai manusia mereka pun tak alpa dari upaya pencarian jati diri dan penghayatan makna hidup. Adalah Tias Tatanka yang melakukan penjelajahan eksistensial dalam Rendezvous: kuhamparkan peta perjalanan/ di atap rumah kita/ agar burung-burung mengerti/ ke mana jauh kaki melangkah/ ke mana harus disampaikan/ kabar dan harapan/ kubenamkan jejakku di ladang/ di tepian laut/ di lereng gunung/ di biasan matahari/ juga pada malam/ agar kau mengerti ke mana harus kau ikuti/ gaung kataku ada di mana-mana/ pun pada pintu rumah kita/ di mana kebebasanku mengembara. Gola Gong, suami Tias Tatanka, tampaknya lebih suka melakukan penegasan eksistensi sebagai protes atas situasi yang terlanjur serba kacau. Penyair sekaligus penulis novel serial Balada Si Roy (diterbitkan Gramedia) ini, dalam sajak Darah menulis: Darah biru darah merah darah jelata/ kubasahi bumi dengan keringat bapak/ sejarah bangsa kukencingi saat dewasa/ karena aku orang gila.
Secara umum, gaya bahasa satir dan metafor yang jadi media ungkapnya, dengan pengecualian pada puisi-puisi Gola Gong, sanggup mengemas pandangan-pandangan yang sebenarnya cukup sinis dan keras bahkan cenderung nyinyir dan konfrontatif terhadap perubahan-perubahan sosial yang ada. Nyatanya, situasi krisis yang mengepung berbagai sendi kehidupan dewasa ini cukup untuk dijadikan pembenaran atas fenomena yang tampak. Lebih khusus, Serang yang –saat tulisan ini dibuat-- berpenduduk sekitar 2 juta jiwa dan luas wilayah 1.840,75 Km2 ini, dipandang tengah mempertontonkan panorama “kematian sawah” yang terus berlanjut gegap gempita seiring dengan skenario industrialisasi yang dikembangkan pihak Pemda Serang dalam kebijakan pembangunannya.
Dalam situasi demikian, 7 penyair Serang mengklaim diri mereka sebagai bebegig penjaga sawah (Serang dalam bahasa Sunda/Banten berarti “sawah”). Bagai bebegig di sawah, ketujuh penyair Serang tersebut tak berdaya apa-apa menyaksikan gelombang modernisasi dan industrialisasi yang mengubur padi di sawah dan menggantikannya dengan “tanaman baru” bernama pabrik. Dengan sendirinya, para petani dipaksa untuk mencangkul di “sawah baru” untuk memanen Upah Minimun regional (UMR).
Alhasil, buku ini cukup bermanfaat sebagai bahan perenungan terhadap berbagai fenomena pembangunan serta dampak-dampaknya. Kiranya, upaya yang telah ditempuh para penyair Serang tersebut dapat merangsang para penyair dari tempat lain untuk mencoba bergulat dengan kampung halamannya masing-masing. Bagaimanapun, tuntutan perubahan senantiasa mengancam di setiap tempat. Maka, dengan menggunakan rumusan mendiang John F. Kennedy, para penyair dituntut untuk melakukan antisipasi terhadap berbagai fenomena perubahan yang mengarah pada penghancuran dan pembusukan. Dari sisi lain, penerbitan antologi ini patut mendapat tempat dalam konteks ruwatan bumi yang tengah marak digalakan di berbagai tempat dalam berbagai bentuk. (nd)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H