Mohon tunggu...
Nandang Darana
Nandang Darana Mohon Tunggu... wiraswasta -

Lahir di Majalengka, Jawa Barat. Mendalami dunia tulis menulis sejak 1992, namun kehilangan gairah pada 2004-an. Awal 2009 gairah itu muncul lagi, meski dengan tertatih-tatih: terlalu banyak yang telah dilewatkan dan mesti belajar lagi dari nol!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Idul Fitri dan Transendensi Insani

25 Agustus 2011   18:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:28 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="" align="alignnone" width="720" caption="Sumber: http://www.kamera-digital.com"][/caption] Pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan tahun ini akan segera usai. Di ujung hari terakhir ibadah puasa nanti, umat Islam akan bertemu dengan Hari Raya 'Idul Fitri. Sebagaimana yang sering terlihat, berbagai cara dilakukan orang untuk memaknai hari raya tersebut. Yang khusyu' menjalankan ibadah puasa, memaknai hari itu sebagai suatu kemenangan syahdu atas tantangan jasmaniah (materi). Pada saat yang sama, sebagiannya lagi melebur dalam suatu perayaan tahunan yang meriah: lebaran. Pada momentum tersebut, perayaan lebaran itu,  kita tengah berhadapan dengan bukti-bukti universalitas ajaran Islam. 'Idul fitri yang mestinya merupakan simbol kemenangan orang-orang beriman atas belenggu nafsu dan kecenderungan materialnya, secara ajaib telah menjadi ajang kebahagiaan semua orang. Tentu saja, fenomena tersebut menarik untuk dicermati. Pertama, perayaan 'Idul Fitri tidak bisa dilepaskan dari syariah pelaksanaan ibadah puasa. Sebagaimana dimaklumi, ibadah puasa merupakan medan laga spiritual seorang hamba untuk mencapai derajat (maqam) takwa. Yakni, suatu keadaan mental ketika seseorang memiliki kekuatan keimanan untuk meniadakan apapun kecuali Allah, sebagaimana yang dapat kita baca dari kalimah syahadat. Pendekatan sufistik menyebutkan, kondisi ini merupakan tonggak keseimbangan wujud (eksistensi) seorang 'abd (hamba). Kerangka-pikir eksistensialis menempatkan situasi ini sebagai syarat bagi kokohnya eksistensi. Melalui keseimbangan itu, seseorang akan dengan tepat memaknai dirinya, sekaligus menempatkan dirinya itu dalam kontek hubungan interpersonal dan sosialnya. Ia, selanjutnya, menjadi diri yang mandiri dalam ruang lingkup sosialnya, bagaikan sebuah tiang kokoh yang terpancang tegak lurus dengan langit. Dalam bahasa Sunda, situasi ini dirumuskan dalam kalimat: teu unggut kalinduan, teu gedag kaanginan. Kedua, perayaan 'Idul Fitri kerap diwarnai dengan kegiatan bersalam-salaman sebagai simbol saling memberi maaf antar sesama. Meski sedikit orang yang mampu menafsir atau memaknai lebih dalam lagi, suasana saling memberi maaf tersebut sarat makna. Paling tidak, ia merupakan implikasi dari karakter momentum hari-hari Ramadhan, khususnya dari sepuluh hari terakhir. Dalam literatur Islam, kesepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dikenal sebagai ayyâm al-maghfirah (hari-hari pengampunan). Para sufi menyebutkan, sepanjang sepuluh hari terakhir ini merupakan titik silang antara habl min al-Lâh dan habl min al-nâs. Puasa yang dilakukan seorang hamba pada dua puluh hari sebelumnya, jika dilakukan dengan benar, dapat mengantarkan orang pada dimensi ruhaniah yang paling tinggi. Penghayatan atas pelaksanaan puasa dan ibadah tambahan lainnya, sejatinya menyebabkan ruh manusia sampai pada pencerapan Ruh al-Quds (Ruh Yang Mahasuci). Bukti-bukti pencerapan atas Ruh al-Quds akan tampak pada beragam bentuk amal soleh, perilaku kebaikan yang dikehendaki Yang Mahabaik. Dalam terminologi tasawuf, kondisi ini merupakan panyatuan wujud antara jamal (keindahan) dan jalal (kekuatan). Perbuatan baik yang dilakukan seseorang lebih dari sekadar melaksanakan perintah Tuhan, melainkan telah menjadi kebutuhan integral manusia sendiri. Dengan ungkapan lain, kehendak Tuhan telah menyatu dengan kepentingan manusia. Dengan demikian, hubungan antar sesama manusia pun senantiasa berada pada wilayah spiritual. Akibatnya, hal-hal yang bersifat material -seperti perbedaan kelamin, status sosial, atau lainnya-- dalam konteks hubungan sesama manusia menjadi tidak berarti. Yang ada hanyalah suatu kesadaran historis untuk bersama-sama menuju ketinggian spiritual dengan beranjak dari kondisi yang sama, yakni ampunan dan penghapusan dosa-dosa. Barangkali karena inilah banyak kalangan yang meyakini, pada kesepuluh hari terakhir Ramadhan terdapat laylat al-qadr, pengakuan Tuhan atas eksistensi manusia. Pada titik ini, kita dapat mengerti, mengapa kewajiban berpuasa dikaitkan dengan sejarah. "Telah ditetapkan atas kalian al-shiyam, sebagaimana telah ditetapkan atas orang-orang sebelum kalian...," kira-kira demikian terjemahan dari pernyataan al-Quran yang menjadi dasar hukum syari'at puasa. Setidaknya, kita dapat memahami, pelaksaan ibadah puasa itu terkait erat dengan historisitas kemanusiaan. Atas dasar hal tersebut, kita dapat melihat hubungan substantif  keberadaan manusia dan perjalanan ruhaninya dalam konteks ibadah puasa. Puasa tidak lain merupakan "kendaraan ruhaniah" untuk mencapai tahap kesempurnaan (ke)manusia(an) yang merentang sejak abad-abad lampau, sejak orang-orang sebelum kita. Dengan ungkapan lain, 'Idul Fitri merupakan pengumuman eksistensial manusia bahwa historisitas kemanusiaan mesti mengarah pada transendensi insani: pencerapan nilai-nilai ketuhanan oleh manusia. Pada titik ini manusia sampai pada muara historisitasnya: "penyatuan" dengan Tuhan, yakni ketika perilaku manusia sampai pada Kebaikan yang dikehendaki Tuhan. Selanjutnya, proses ini akan terus berulang pada tiap generasi di sepanjang zaman. Ala kulli hal, mari kita berjabat erat -melepas segala perbedaan dan kesenjangan material-jasmani-duniawi-sambil melangkah bersama menuju transendensi; suatu kondisi ketika setiap ruh saling menyapa dalam keadaan fitrah. Mohon maaf lahir dan batin. Mari kita lahir kembali sebagai insan kamil yang mengejawantahkan hikmat ilahiyah dalam pentas sosial, seiring dengan gema takbir, tahmid, dan tahlil. (nd).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun