Mohon tunggu...
Nandang Darana
Nandang Darana Mohon Tunggu... wiraswasta -

Lahir di Majalengka, Jawa Barat. Mendalami dunia tulis menulis sejak 1992, namun kehilangan gairah pada 2004-an. Awal 2009 gairah itu muncul lagi, meski dengan tertatih-tatih: terlalu banyak yang telah dilewatkan dan mesti belajar lagi dari nol!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

(Membaca) Sastra & Filsafat: Upaya Memungut Realitas dan Penegasan Eksistensi

5 Juli 2010   09:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:05 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai hasil proses kreasi estetis kepengarangan dan refleksi atas realitas, karya sastra memiliki keakraban dengan filsafat: sama-sama memungut realitas sebagai sumber inspirasi. Bedaannya, seperti menurut Mudji Sutrisno, terletak pada metodologi yang digunakan. Sastra merupakan ziarah penjelajahan seluruh realitas tanpa pretensi membuat rumusan sistematis; sedangkan filsafat tampil sebagai refleksi atas ziarah dimaksud secara sistematis. Pada titik ini, filsafat mengambil sastra sebagai bahan bakunya. Keakraban demikian, ditunjukkan pula oleh kemampuan sastra untuk menjelaskan konsepsi filosofis secara lebih komunikatif, segar dan hidup. Barangkali karena pandangan seperti inilah Takdir menulis tiga jilid roman Grotta Azzurra. Roman --yang dikritik Teeuw sebagai “terlalu dikuasai perfilsafatan kebudayaan”—pada 1970.

“Berbicara tentang sastra berarti berbicara tentang manusia dan masyarakat,” tulis Mochtar Lubis. Oleh sebab itu, karya sastra tidak dapat dipi¬sahkan dari pemikiran-pemikiran dan perasaan yang hadir di masyarakat. Ia dipandang sebagai cerminan suatu kondisi atau keadaan yang tengah berkembang. Dengan demikian, karya sastra tidak saja melulu bermuatan estetis. Dalam karya sastra terpancar juga pemikiran, kehidupan, dan tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, berbicara karya sastra berarti juga berbicara suatu segi kebudayaan. “Seni harus menjadi gerakan kontra terhadap roh zaman yang sedang melembek,” tulis Nietzsche. “Gerakan seni adalah cara untuk menghidupkan kembali arete Yunani (kebajikan Yunani), virtu renaissance (kebaikan renaisans) dan Zarathrusta (agama-agama kuna),” lanjutnya.

Sesuai tuntutan Nietzsche, tidak mengherankan bila dalam karya sastra muncul tawaran tentang makna tertentu kehidupan –sehingga sanggup mengundang diskusi. Kajian atas karya sastra yang dilakukan dengan menggunakan kerangka pemikiran tertentu di luar kaidah-kaidah sastra (estetika), dalam teori kritik sastra, disebut kajian sastra secara ekstrinsik. Kajian ini lebih ditekankan pada aspek gagasan serta latar belakang kemunculan karya sastra tersebut. Sejauh tema dalam suatu karya sastra mengarah pada aliran tertentu, ia pun layak dikaji berdasarkan kecenderungan filsafatnya. Salah satunya adalah membuat tinjauan atas karya sastra dengan kerangka eksistensialisme.

Caligula karya Albert Camus, sanggup merangsang diskursus tentang keharusan eksistensial manusia. Menurut Camus, kebenaran adalah pemberontakan terhadap takdir, dan kekeliruan bila meniadakan manusia. Orang Asing, karya lain Albert Camus, juga memunculkan tema eksistensial tentang absurditas kehidupan manusia dan pemberontakan terhadap konvensi yang ada mengenai hirarki manusia. Masalah absurditas diangkat dengan porsi yang lebih besar dalam karya Camus lainnya, Mitologi Sisiphus. Jean-Paul Sartre mengangkat absurditas dan kebebasan dalam naskah drama berjudul Pintu Tertutup. Tema eksistensial tentang absurditas juga dimunculkan Sartre dalam romannya, Rasa Muak.

Eksistensialisme Sartre yang ateistis mendapat perimbangan dari teisme Iqbal yang “melihat Tuhan dalam cahaya pribadi”. Bagi Iqbal, setiap wujud mempunyai individualitas, yakni gerak menaik yang dalam jalannya memungut semua wujud hidup. Dengan cara ini, Iqbal menegaskan eksistensi manusia sebagai pencipta tandingan seraya menyapa “Sang Maha Baik dari seluruh pencipta”.

Dalam Sastra Indonesia, Ziarah karya Iwan Simatupang adalah novel yang sarat dengan tema eksistensi; kehidupan, kematian, kebebasan, pertanggung-jawaban, dan keterasingan. Dami N. Toda menyebutkan bahwa Ziarah memiliki keterkaitan secara interteks dengan Orang Asing karya Camus. Sementara Budiarto Danujaya menghubungkan Ziarah dengan karya filosofis Sartre, Ada dan Ketiadaan.

Selain novel Iwan Simatupang, Atheis karya Achdiat Kartamihardja memunculkan tema eksistensi yang lain. Roman ini bertutur tentang kisah manusia yang tengah mencari penegasan identitas diantara modernitas dan tradisi serta agama. Pencarian yang sama terdapat pula dalam karya Montinggo Busye, Sanu Infinita Kembar. Bahkan lebih mendalam, jati diri dilacak hingga menembus kedalaman mistikal dengan menguak batas-batas antara hidup dan mati.

Sementara dalam puisi, sajak Aku karya Chairil Anwar jelas-jelas bercorak eksistensialis. Kalimat “Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang” adalah pengumuman eksistensialis dari Chairil Anwar. Menurut Herry Dim, Aku Chairil Anwar tersebut merupakan upaya (baca: pemberontakan) ke arah penegasan eksistensi diri. Manusia sebagai persona, sebagai individu yang total, dicoba didengungkan Chairil Anwar guna menegaskan hak-hak manusia perorangan. Pada wilayah eksistensialis, hal tersebut merupakan pemberontakan terhadap Sosialisme yang tengah jadi maintrend dalam diskursus intelektual masyarakat Indonesia saat itu. Alhasil, adanya gagasan atau pemikiran dalam sebuah karya sastra dapat dianggap sah. Dalam hal ini, seni tidak saja untuk seni tapi juga untuk sesuatu yang lain, semisal perubahan masyarakat. Berikut ini adalah contoh pembacaan atas beberapa naskah drama Arifin C. Noer dari sudut pandang eksistensialisme.

**

Dalam karya-karya Arifin C. Noer (ACN), tema-tema eksistensial yang jadi bahan permenungan Camus, Sartre, atau lainnya tampak cukup kental. Selain itu, karya-karya ACN pun dapat dikait¬kan dan dilacak hingga zaman romantisme yang banyak berbicara tentang perjalanan hidup manusia, kemunafikan, moralitas, dan anti kemapanan. Namun sebagai seorang muslim, ACN tentu tidak dapat keluar dari kerangka normatif keaga¬maannya. Pikiran-pikirannya tidak dapat dikatakan murni eksis-tensialis. Dengan sendirinya, masalah-masalah eksistensialis mendapat muatan religius.

Dalam Sumur Tanpa Dasar (STD), ACN bertutur tentang konflik antara iman dan eksistensi diri. Dari situ terlihat upaya ACN untuk melakukan pembongkaran terhadap nilai-nilai yang ada di masyarakat. Khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai etik religiusitas dan kebebasan manusiawi. Contoh lain adalah Tengul. Karya ACN ini bertutur tentang kisah manusia yang dipermainkan Sang Nasib. Kedangkalan imanlah akhirnya yang mengantarkan manusia pada lembah kehi¬naan, merendahkan diri di hadapan demit, suatu drama peng¬ingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang begitu luhur. Padahal, bukankah manusia lebih tinggi derajatnya dari pada demit? Dari sisi lain, karya ini pun menunjukkan betapa absurd¬nya manusia ketika sudah tidak lagi berpegang pada akal sehat dan, terutama, iman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun