Bisakah sastra mengantarkan seseorang ke surga? Pertanyaan ini sempat menjadi “iman” orang macam Sutardji Chalzoum Bachri selama bertahun-tahun. Dan Tardji sampai pada pengalaman, bahwa dengan menulis sajak saja tidak cukup untuk mengantarkan seseorang masuk surga. “Walau huruf habislah sudah, alif-ba-ta-ku belum sebatas Allah,” tulisnya dalam sajak Walau –menandai pertobatannya.
Pengalaman Tardji tentu tidaklah mesti sama dengan yang lain. Terhadap pertanyaan retoris di atas pun, kita bisa bersikap afirmatif. Masalahnya, bagaimana kita menjadikan sajak –atau sastra secara umum—sebagai sarana menuju Tuhan. Karena, dalam kearifan perennis, diyakini bahwa banyak sekali pintu-pintu menuju Tuhan.
**
Sastra dan religiusitas kurang lebih berada pada wilayah paradigma yang sama, yakni intuisi. Intensitas penghayatan terhadap keduanya, menjadi sebab sampai atau tidaknya seseorang pada suatu transendensi (pencerapan nilai-nilai Ilahiah dalam dunia profan). Dalam filsafat, khususnya eksistensialisme Jaspers dan Marcel, transendensi adalah perwujudan eksistensial manusia. Melalui pembacaan chiffer-chiffer –dalam istilah Jaspers—suatu eksistenz membuka ruang komunikasi dengan eksistenz lainnya. Komunikasi ini, pada gilirannya, menjadi sebab bagi suatu transendensi humanistik: manusia sampai pada pencerapan nilai-nilai Ilahiah.
Inilah sebabnya, sastra (baca: karya sastra) sejatinya muncul sebagai ekspresi keberpihakan terhadap kebaikan tertinggi, apapun yang menjadi landasan filosofis maupun ideologisnya. Ini berarti perwujudan eksistensial manusia –melalui karya sastra-- ditempatkan sebagai ziarah kosmis yang terkait dengan modus-modus penciptaan. Kreativitas manusia, pada akhirnya, merupakan fase lanjutan dari kreativitas Tuhan di muka bumi. “Kau ciptakan tanah lempung, aku ciptakan tembikar,” tulis Muhammad Iqbal.
**
Sebagai seorang kreator, sastrawan berada dalam pergulatan proses kreatif melalui upaya perumusan wilayah estetik dan tematik dalam karyanya. Pada wilayah estetik, sastrawan dituntut untuk mengeksplorasi bakat, kecerdasan, dan keseriusannya untuk memunculkan temuan baru dalam wilayah kerjanya. Sehingga, sekalipun seorang sastrawan masuk pada arus estetika tertentu, ia tidak sekaligus kehilangan kediriannya sebagai seorang kreator. Misalnya, estetika yang sempat dikembangkan Chairil Anwar pada 1945-an, yang mendobrak puitika Amir Hamzah, muncul pada Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, dan Subagyo Sostrowardoyo. Teta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H