Seperti yang kita ketahui,akhir-akhir ini publik diramaikan dengan kontroversi kontroversi pengesahan berbagai RUU bahkan RKUHP. Salah satunya adalah rancangan undang undang (RUU) penghapusan kekerasan seksual (PKS) yang berawal dari petisi yang dibuat oleh Maimon Herawati pada tanggal 27 Januari 2019 dan berujung pada ditundanya pengesahan pada masa kerja DPR periode ini,seperti dikutip dari TEMPO.CO (20/9/19) Bambang Soesatyo selaku ketua DPR menyatakan bahwa pembahasan RUU PKS akan diselenggarakan oleh anggota DPR periode 2019-2024 memdatang dikarenakan banyaknya yang harus dipertimbangkan ulang sedangkan  waktu kerja yang tidak memungkinkan untuk melakukan pembahasan lanjut karena terlalu singkat.
  Salah satu pihak yang dengan keras menolak RUU P-KS ini  justru kebanyakan dari  pihak "ibu-ibu". Hal ini dibuktikan dengan terjadinya demonstrasi "ibu-ibu" diberbagai kota menolak RUU P-KS. Yang disayangkan,banyak dari tuntutan mereka yang  bisa dikatakan tidak relevan,hal ini bisa jadi dikarenakan kesalah-tafsiran mereka terhadap RUU itu.
  Sebut saja demonstrasi yang dilakukan ibu-ibu didepan DPR Provinsi Sumatera Selatan,di Jalan POM IX,Palembang, untuk menolak RUU P-KS, Rabu (25/9/19).
"RUU P-KS ini memangkas hak seorang suami terhadap istri.kan lucu seorang istri bisa dipidanakan suami pada saat istri tidak mau berhubungan dengan suaminya. Kan itu gila". Ujar Dina Tanjung selaku koordinator lapangan Komunitas Emak Militan saat ditanyai. Dikutip dari KOMPAS.COM (25/9/19).
  Dari sini sudah dapat dilihat bahwa mereka bisa jadi salah pengertian terhadap RUU P-KS. Bahwa, didalam RUU P-KS sama sekali tidak disebutkan bahwa seorang istri yang menolak ajakan suami untuk berhubungan bisa dipidanakan. Justru RUU P-KS ini dirancang pro-korban pelecehan seksual."RUU PKS ini pro-korban dan bisa menjadi payung hukum yang kuat," kata juru bicara Koalisi Ruang Publik Aman Rika Rosviati saat berorasi di depan Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Selasa (17/9), seperti dikutip dari Antara.
  Atau mungkin kita bisa lihat kasus  yang terjadi di depan gedung DPR/MPR yang dilakukan massa yang mengatas namakan Gerakan Rakyat Menolak RUU P-KS. Disebutkan di dalam CNN (20/9/19) salah satu tuntutan mereka adalah tentang pasal yang mengatur perempuan yang pulang malam
"Saya tidak mau ada RUU P-KS, karena perempuan yang pulang malam akan didenda 1 juta rupiah kan, gelandangan juga". Ucap salah satu demonstran.
Ada berbagai ke-salah tafsiran disini, bahwa yang dapat dipidanakan adalah seseorang yang berkeliaran malam hari dengan tanpa identitas,dan hal ini tidak melulu berlaku terhadap wanita,dan yang paling perlu diketahui adalah,poin yang disebutkan diatas sebetulnya bukan pada RUU P-KS, melainkan salah satu pasal yang masuk dalam rancangan undang-undang hukum pidana (RKUHP).
  Lalu ada lagi yang menyebutkan bahwa kata "kekerasan" dalam pasal ini kurang spesifik. Lagi-lagi hal ini salah besar, berdasarkan draf RUU P-KS yang dikutip dari website DPR,sudah dijelaskan bahwa kekerasan seksual terdiri dari; pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan elacuran, perbudakan seksual dan/atau penyiksaan seksual.
  Lalu sekarang apakah benar bahwa RUU P-KS ini pro LGBT? Seperti yang dikatakan oleh Maimon Herawati :
"Relasi yang dibahas adalah relasi kuasa bebasis gender, artinya lelaki boleh berhubungan badan dengan sesama lelaki, asal suka sama suka". Mungkin ungkapan ini lah yang menjadi dasar penganggapan bahwa RUU P-KS ini disebut pro-LGBT.
  Faktanya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini khusus (lex  spesialis) menangani kekerasan seksual. Terkait perzinaan sudah diatur dalam KUHP,UU Kesehatan, hingga PP 61/2014 tentang kesehatan reproduksi,dikutip dari TEMPO.CO (31/1/19).
  Hal seperti ini bisa saja terjadi juga dikarenakan sosialisasi yang kurang efektif, Seperti kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama',Robikin Emhas dalam TEMPO.CO (26/9/19).
"Mendatang,pemerintah dan DPR perlu mengefektifkan sosialisasi dan pola komunikasinya ke publik. Dan jangan terkesan SKS (sistem kebut semala). Kesan SKS itu karena masyarakat tidak tahu rangkaian proses pembentukan suatu UU".Sebagai info,RUU P-KS ini sudah dibahas DPR dari tahun 2012 dan pembahasanya masih tetap berlanjut sampai sekarang.
  Dari paparan di atas, salah satu faktor yang paling penting dari pembuatan dan/atau pengesahan seuah RUU adalah proses sosialisasi yang efektif, agar tidak timbul kesalah tafsiran dimasyarakat luas, yang dapat berimbas kepada tidak disegerakannya pengesahan RUU, serta konflik-konflik yang timbul gara-gara kesalah fahaman masyarakat atas RUU tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H