Mohon tunggu...
Nanda Pratama
Nanda Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akankah Nama Mereka Pudar??

23 Desember 2014   05:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:40 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melestarikan Budaya Penamaan Bali di Tengah Gempuran Globalisasi

Siapa yang tidak mengenal Pulau Bali? Pulau yang disebut sebagai Pulau Dewata serta Pulau Seribu Pura tersebut kental dengan adat istiadatnya. Tidak sedikit yang bisa dikupas mengenai adat istiadat di Bali, mulai dari upacara, ritual-ritual keagamaan, kesenian baik berupa tarian maupun gambelan, kebiasaan masyarakat, bentuk rumah, bahasa dan yang paling disoroti adalah tata cara penamaan. Hal ini begitu menarik, sebab  penamaan di bali mempunyai tempat tersendiri di kalangan masyarakat Indonesia. Semua orang begitu mendengar nama, Wayan, Made, Nyoman, ataupun Ketut pasti akan mengetahui orang tersebut pasti berasal dari Bali. Begitu terkenalnya sehingga banyak orang selalu ingin mengetahui tentang penamaan Bali.

Penamaan di Bali  sangat erat kaitannya dengan budaya. Penamaan tersebut didasari oleh perbedaan kasta (warna), dimana pada setiap kasta(warna) Ksatrya, Brahmana, Wasya dan Sudra memiliki tata cara penamaan sendiri. Seperti contohnya, Nama depan seperti "Ida Bagus" untuk pria atau "Ida Ayu" untuk wanita, menunjukkan bahwa dia berasal dari keturunan kasta Brahmana, Nama depan seperti "Anak Agung", "I Gusti Agung", "Cokorda", "I Dewa", "Desak" (perempuan), "Dewa Ayu" (perempuan), "Ni Gusti Ayu" (perempuan), dan "I Gusti Ngurah", ini berasal dari kasta Ksatria yang merupakan golongan profesi dari pelaksana pemerintahan dan pembela negara. Serta yang paling terkenal adalah “Wayan/Putu/Gede”, “Made/Kadek”, “Komang/Nyoman” dan “Ketut” yang berasal dari Kasta (warna) Wasya dan Sudra, dan umum dipergunakan masyarkat Bali.

Kecendrungan pada jaman dahulu masih percaya bahwa memiliki banyak anak sangat berpengaruh terhadap masa depan, sehingga tidak jarang sebuah Keluarga dapat memiliki empat (4) anak bahkan lebih, ada yang sampai sepuluh (10) bahkan duabelas (12) orang. Sehingga penamaan yang diberikan selalu ada, yang dimaksud keempat penamaan yang umum (Wayan, Made, Nyoman dan Ketut) di setiap anggota keluarga. Namun yang menjadi sebuah polemik di kalangan masyarakat Bali sudah mulai bergeser, dimana banyak faktor yang mempengaruhi, baik itu ekonomi, teknologi, globalisasi dan masih banyak faktor-faktor lainnya yang menyebabkan menurunnya produktivitas akan keturunan. Kecendrungan keluarga di era modern ini, hanya memiliki 1-2 anak saja, sehingga untuk penamaan biasanya hanya terputus sampai Made/Kadek.

Salah satu komponen dinamika kependudukan yang sangat berperan dalam mengerem laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bali selama periode 1971-1980 dan 1980-1990 adalah komponen kelahiran, selain komponen migrasi melalui program transmigrasi dan komponen mortalitas melalui program kesehatan. Pada tahun 1971 angka fertlitas total (total fertility rate disingkat TFR) penduduk Provinsi Bali mencapai 5,96 per perempuan usia reproduksi, selanjutnya pada tahun 1980 TFR Provinsi Bali turun menjadi 3,97 dan pada tahun 1990 turun lagi menjadi 2,28 per perempuan usia reproduksi (BPS Indonesia, 2001). Penurunan fertilitas yang dicapai Bali jauh melebihi target yang direncanakan pemerintah pusat yang mencanangkan penurunan fertilitas 50 persen dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun (1971-1990). (sumber : KECENDERUNGAN POLA DAN DAMPAK MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI BALI PERIODE 1980-2005, I Ketut Sudibia, Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan SDM Universitas Udayana)

Menurut Teori Kependudukan Muktahir, Jhon Stuart Mill (filosof dan ekonomi) dalam teorinya dikatakan, apabila produktifitas seseorang tinggi, cenderung mempunyai keluarga kecil (fertilitas rendah), dimana stadart living merupakan determinan fertilitas. Menurut Arsene Dumont (demografer) dalam teorinya dikatakan bahwa ketika penduduk berlomba-lomba mencapai kedudukan yang tinggi, maka fertilitas menurun hal ini juga berkaitan dengan Teori Kapilarisasi Sosial (theory of social capilarity) dimana kapilaritas sosial mengacu pada keingian seseorang untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi di masyarakat seperti analogi “cairan akan naik pada pipa kapiler”.

Polemik yang terjadi pada masyarakat Bali saat ini terjadi karena budaya penamaan yang semakin berkurang akibat pengereman laju jumlah penduduk dan kebutuhan akan tuntutan kehidupan tinggi seiring perkembangan jaman. Tidak dapat dihindari bahwa budaya penamaan akan semakin tergerus dan lambat laun akan menghilang. Terbukti dengan penamaan yang bersifat kebarat-baratan (seperti Made Londen, Wayan Joni dan lainnya) sampai menghilangkan identitas penamaan. Asumsi yang terjadi di masyarakat mengenai, masyarakat bali (identitas penamaan) ketika melamar pekerjaan akan dipertimbangkan karena banyak yang meminta libur di luar jadwal libur perusahaan, karena tuntutan adat ataupun upacara keagamaan, sehingga tidak banyak yang ditolak. Namun banyak pula yang beralasan lain seperti tidak cocok dengan nama tersebut, atau pemberian nama memiliki harapan dan makna tertentu dari Orang Tua. Hal ini seolah olah menjadi paradoks, sehingga identitas penamaan terutama untuk “Nyoman dan Ketut” semakin jauh ditinggalkan. Hal ini banyak menimbulkan kekhawatiran bagi beberapa kalangan masyarakat akan kehilangan sosok yang beridentitas nama “ketut” (sebab anak terakhir/ke-4 yang jarang ada). Kesadaran pula mulai muncul dengan berdirinya asosiasi-asosiasi yang peduli terhadap kelestarian penamaan ketut.

Masalah kependudukan sangatlah erat kaitannya dengan sosial-budaya, terutama pada kasus penamaan di Bali. Dengan adanya artikel ini diharapkan mampu memberi gambaran dan edukasi terhadap keterkaitan antara toeri yang ada dengan kondisi terkini, bahwasanya setiap penyebab yang timbul dari masalah terebut (tergerusnya  budaya identitas penamaan) tidak terlepas dari teori tentang kependudukan, ekonomi, kebijakan pemerintah. Hal ini menjadi sebuah cerminan bahwa, budaya sudah lambat laun semakin tergerus dengan arus globalisasi. Harapannya, untuk masyarakat Bali tetap berpegangan teguh terhadap budaya agar identitas penamaan selalu ada untuk seterusnya. Agar identitas yang menjadi ciri khas selalu tetap ada dan memiliki tempatnya sendiri di kalangan masyarakat terutama masyarakat Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun