Inovasi, satu kata yang seksi dan sering diucapkan dalam berbagai macam konteks. Kuncinya adalah bagaimana kata ini mempunyai "dampak" terhadap masa depan.
Beberapa hari yang lalu sebelum tulisan ini dibuat, saya membaca berita bahwa Elon Musk dengan Tesla-nya berhasil menciptakan Optimus, sebuah Humanoid Robot. Saya tercengang karena ternyata ide-ide yang sebelumnya hanya bisa kita temukan di film Hollywood ternyata sudah di depan mata.
Banyak orang mampu mengucapkan, menuliskan, bahkan melontarkan kata ini dalam banyak objek dan kemudian memberikan label terhadap diri sendiri sebagai “innovator.”
Namun, dalam perjalanan karier profesional saya banyak menemui bahwa kata inovasi ini sering dimaknai terlalu sempit atau bahkan tidak tepat.
Ketika seseorang mampu mengeluarkan ide yang tidak biasa kemudian sepertinya terlihat berbeda, maka mendadak label inovasi dan atau innovator ini meluncur begitu saja.
Padahal, dalam perspektif yang lebih luas, inovasi dan innovator ini harusnya dilihat dalam spektrum yang lebih tajam.
Untuk memulainya, kita coba lihat dari definisi inovasi itu sendiri yaitu membarui produk atau jasa dengan menerapkan proses baru, memperkenalkan teknik baru, atau membangun ide-ide sukses untuk menciptakan nilai baru.
Persona yang mampu melakukan inovasi kerap disebut dengan inovator, atau orang yang mampu melakukan eksekusi terhadap ide-ide pembaruan tersebut dengan presisi dengan visi atau strategi entitas bisnis.
Kata kunci yang sering diabaikan adalah penerapan dan suksesnya ide-ide besar tersebut. Jadi, bukan hanya pengucapan di bibir namun eksekusinya tidak jalan atau seandainya berjalan bukan perubahan positif yang diperoleh alih-alih dampak negatif yang muncul.