Saya baru menggunakan iPhone sejak 2012 dan sejak itu saja menjadi “pengikut” garis keras merek dengan logo apel tergigit ini. Ya, sejak 2012 saya sudah tidak bisa beralih ke merek lain walau merek lain ada yang memiliki fitur lebih baik dan dengan harga lebih murah.
Saya pun awalnya berpikir bahwa mungkin memang saya hanya suka dengan desain iPhone yang menurut saya memang sophisticated. Namun setelah muncul merek-merek lain yang tidak kalah secara desain dan bahkan fitur, saya tetap memilih iPhone.
Kemudian ketika saya sekolah lagi dan mengambil bidang ilmu perilaku konsumen, baru saya sadar ternyata ada alasan ilmiah dan bersifat psikologis kenapa saya begitu mencintai iPhone.
Ya, sebelum saya masuk ke alasan-alasan tersebut dan untuk mengurangi bias tulisan saya ini, kita harus mengakui bahwa memang iPhone mengubah segalanya.
iPhone adalah salah satu produk yang paling diinginkan dan inovatif di dunia, setidaknya ini terbukti dari beberapa data penjualan smartphone.
Saya sempat terjatuh dalam bias hanya orang jenius yang kreatif dan brilian, seperti kamu dan saya, pemilik iPhone, yang akan membeli iPhone.
Ya, setidaknya, itulah yang diinginkan Apple untuk kamu pikirkan.
Dalam pemahaman bidang perilaku konsumen, Apple adalah ahli dalam menciptakan merek yang orang ingin menjadi bagiannya, yaitu inovatif, kreatif, sedikit memberontak (pengaruh mantan CEOnya, Steve Jobs).
Tapi juga sangat mahal. Tidak mengherankan, Apple menggunakan beberapa taktik psikologis yang rumit untuk membuat kamu mengeluarkan begitu banyak uang untuk iPhone.
1. Self-Signaling
Kata kuncinya adalah teknik pemasaran Apple menarik emosi kita.