Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Bulan Madu Kedua

1 Juli 2021   08:13 Diperbarui: 9 Juli 2021   09:05 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Rachel Claire dari Pexels

Saat itu awal September. Maya berada di dapur, menyiapkan makan malam. Pada usia tiga puluh lima tahun, Maya masih mengganggap dirinya seorang perempuan muda. Maya bertubuh tinggi semampai seperti model. Wajahnya cantik dan menggemaskan. 

Dia sungguh menikmati hidupnya saat ini, terus fokus kepada kesehariannya. Dia adalah seorang pengacara sukses di kotanya. Suaminya bernama Adi, seorang pengusaha yang sukses juga. Adi bertubuh sedang, tidak terlalu tinggi. Usianya baru tiga puluh sembilan tahun.

Mereka sudah menikah lama tapi masih belum mempunyai keturunan. Tidak mengapa kata Maya dan Adi. Mereka jadi punya waktu lebih banyak untuk bersenang-senang. 

Setahun yang lalu mereka berencana bulan madu kedua. Maya sangat ingin untuk bisa berbulan madu kedua. Namun rencana tersebut tidak terjadi karena kesibukan Adi sebagai pengusaha membuat dia sering pergi ke luar kota untuk berbisnis. Tapi Maya yakin suatu hari keinginannya untuk berbulan madu kedua pasti tercapai.

Adi adalah anak orang kaya jaman dulu yang selalu dipenuhi dengan fasilitas. Bapaknya adalah mantan pejabat dinas luar negeri. Segala fasilitas disediakan oleh orang tuanya. Adi selalu dimanjakan orang tuanya. Dia tidak kenal yang namanya hidup susah.

Ada seraut wajah penuh keyakinan dalam kata-katanya. Suara Adi terdengar renyah di kuping Maya saat itu. Suara renyah yang membuat Mira jatuh cinta pada suaminya itu. Suara renyah Adi membuat dia terdengar selalu penuh optimisme, walaupun selalu tanpa rencana. Bagi Adi semua bisa dilakukan di menit terakhir.

Maya dan Adi bertemu di suatu acara di mana Adi diundang sebagai pembicara mengenai gaya hidup anak muda waktu itu. Maya waktu itu masih lugu dan polos. Ketika dia melihat Adi dengan tipe anak muda perlente dan punya mobil, Maya pun jatuh hati.

Mereka pun menikah. "Aku akan jadi pengusaha saja," kata Adi tertawa. Dia memang suka tampil di panggung. Mungkin dia sadar bapaknya orang kaya. 

Tak lama kemudian dengan modal orang tuanya Adi berhasil menjadi seseorang yang disebut dengan Founder. Mungkin ayahnya berpikir anaknya memang tidak pintar tapi dengan uang tidak ada yang tidak mungkin.

                                                                                                                              

Suara pisau berdecit-decit memotong dan mengiris sayuran dan daging dengan lincah. Jari-jemari Maya menari-nari serentak dengan gerakan pisau yang ada di tangannya.

Apartemen Maya dan Adi terletak di tengah-tengah kota. Mereka membeli sebuah apartemen dan mengambil satu unit di griya tawangnya. Entah berapa harga satu unit apartemen griya tawang itu. Bagi Adi uang tidak masalah.

Jemarinya berhenti memotong dan mengiris, Maya memandang lurus ke arah kaca. Dari posisinya, dia bisa melihat keindahan malam kotanya. Pemandangan langit waktu itu sedang merah bercampur dengan semburat biru. 

Maya menyukai pemandangan ini. Ada perasaan teduh di hatinya ketika dia melihat warna langit pada malam itu. Malam ini akan dia nikmati bersama suaminya. Begitu ujarnya dalam hati.

Suara ketel air berdesis nyaring menyadarkan Maya itu untuk berhenti memandang langit. Maya membalikkan badan menuju ke arah ketel dan mengangkat ketel air dan menaruhnya sudut meja masak.

Maya lalu menuangkan air panas mendidih itu ke cangkir dan menaruh sekantung teh ke dalamnya. Dia menambahkan satu sendok gula dan mengaduk-aduk perlahan.

Tangannya berhenti mengaduk-aduk gelas teh-nya ketika dia mendengar nada dering dari telepon genggamnya.

"Hai sayang..,"  suara yang renyah dan dia rindukan terdengar.

"Hai sayang, kamu sudah dalam perjalanan ke rumah?"

"Sayang, aku minta maaf, aku masih harus membereskan setumpuk pekerjaan di kantor." Pria tersebut menjelaskan.

"Aku akan sedikit terlambat"

"Jangan terlalu lama di kantor, aku sudah memasak untuk kita malam ini"

"Terima kasih, sayang."  Pria tersebut menutup pembicaraan.

Foto oleh Rachel Claire dari Pexels
Foto oleh Rachel Claire dari Pexels

Di sisi lain kota malam itu

Langit kota yang merah dengan semburat biru itu menemani perempuan mungil itu di apartemennya di lantai 25. Perempuan mungil itu baru saja menuangkan segelas anggur ketika sebuah panggilan masuk ke telepon genggamnya.

"Sayang, aku mampir ya?, kangen kamu!" Terdengar suara renyah di seberang sana.

"Katanya Mas lagi rapat penting?"

"Sudah selesai" 

"Ya sudah, aku tunggu di sini." Suara perempuan mungil itu dibuat seperti merajuk.

Perempuan mungil itu rindu sekali. Pria yang dikenalnya setahun lalu. Rasa itu tumbuh begitu saja menyirami hati perempuan mungil itu yang sekian lama kosong.

Perempuan mungil itu tidak bisa berbohong pada hatinya sendiri. Dia jatuh hati pada laki-laki bersuara renyah itu. Pria itu punya sesuatu dalam dirinya yang membuat hatinya berdegup.

Saat mendengar suara renyah pria itu, sesuatu seperti meledak dan mendesak-desak dadanya. Ia tidak bisa menunggu. Tidak bisa. 

Hanya butuh sekitar 30 menit bagi pria itu untuk mencapai apartemennya di lantai 25. Ketika daun pintu terkuak, perempuan mungil itu tak sabar untuk tidak melompat ke pelukannya. Dadanya sesak.

"Aku harus berkunjung ke daerah minggu depan." Itu kalimat pertama yang muncul dari pria itu.

Perempuan itu tersenyum manja. Mata laki-laki itu berbinar-binar melihat perempuan mungil itu.

"Aku ikut ya?"

"Aku harus atur dulu," Kamu tahu kan situasinya tidak semudah itu.

"Kita bisa bulan madu kedua," Ucap perempuan mungil itu.

"Kamu memang pintar." Pria itu tertawa renyah.

Hati perempuan mungil tersebut membuncah. Perempuan mungil itu tahu waktunya bersama pria itu malam ini tidak lama.

Dia suka aroma parfum pria itu. Dia suka wangi aftershave pria itu. Dia suka segalanya yang ada di pria itu. Degup jantung perempuan mungil itu berdetak kencang sekali. Waktu seperti berhenti. Malam itu langit merah sekali.

"Masakan kamu tetap enak," Ucap Adi ke Maya sambil menuangkan anggur ke gelas Maya dan gelasnya sendiri.

"Ah, kamu dari dulu memang selalu bisa memuji aku," Maya tersenyum bahagia. Matanya bersinar seperti anak kecil yang mendapatkan permen.

"Aku sepertinya harus pergi ke daerah selama satu minggu, Banyak proyek yang harus aku tinjau."

"Aku perlu ikut menemani?"

"Aku bisa ambil cuti dan kita bisa bulan madu kedua seperti rencana setahun lalu," Suara Maya terdengar bersemangat.

"Sepertinya kita bisa atur nanti saja, aku akan sibuk sekali di sana tidak akan ada waktu."

"Baiklah, tapi jangan lupa bawa oleh-oleh yang banyak ya," Suara Maya merajuk.

Adi tersenyum. Matanya memandang Maya dalam-dalam. Tangannya mengelus elus rambut Maya. Malam itu langit begitu merah.

Malam itu Maya tidak bisa tidur. Dia beranjak dari kasurnya sambil memandang Adi yang tertidur pulas. Maya beringsut menuju ke dapur.

Di dapur Maya menyalakan ketel, dia ingin sekali minum teh hangat malam ini. Kepalanya berdenyut-denyut. Sambil mengaduk-aduk teh-nya, Maya membuka sebuah amplop coklat yang dia terima tadi siang.

Mata Maya terlihat sedih. Isi amplop coklat itu seperti firasatnya selama ini. Selama ini dia ingin percaya kalau isi amplop coklat itu hanyalah bayangan buruknya saja.

Tangisan hening Maya pun pecah. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Kepalanya sakit sekali. 

Dia beranjak ke ruangan kerjanya. Dia kemudian menaruh amplop coklat itu di laci meja kerjanya. Matanya melihat di sudut laci meja ada satu kotak kecil berwarna putih polos. Dia tahu dia memerlukan isi kotak itu malam ini.

 

Pengusaha terkenal Adianto ditemukan meninggal bersama teman wanitanya yang masih diidentifikasi oleh pihak Kepolisian. Mereka berdua ditemukan sudah meninggal di sebuah kamar yang terletak di salah satu resort pribadi di Pulau Harapan. Menurut pihak kepolisian penyebab kematian keduanya adalah racun yang kemungkinan diletakkan di dalam makanan. Pihak Kepolisian masih akan memeriksa saksi-saksi.

Semua headline surat kabar pagi itu memberitakan mengenai kematian Adi. Akun instagram Maya pun banjir dengan ucapan berduka sekaligus caci maki pada Adi

Mereka yang mencaci mengatakan betapa bodohnya Adi meninggalkan Maya, seorang wanita karir dan sukses dan cantik. Mereka memuji Maya sebagai wanita yang kuat. Mereka memuja Maya sebagai wanita suci yang tersakiti.

Akun instagram Maya yang tadinya hanya memiliki ratusan follower mendadak bertambah menjadi ribuan. Maya bahkan diundang dalam sebuah siaran youtube. Live! ditonton ratusan ribu orang. Maya dalam tujuh hari berubah menjadi selebgram. Wanita baik-baik yang tersakiti, begitu semua tagline yang disematkan pada Maya.


Perempuan semampai itu kembali menatap langit melalui jendela griya tawangnya. Malam itu langit tidak lagi merah. Warna temaram menyiratkan isi hati perempuan itu.

Perempuan semampai tersebut kemudian melangkah ke luar  ke balkon. Dia butuh udara segar pikirnya.

Dia kemudian menyalakan rokoknya. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam. Perempuan itu hanya diam. 

Tiba-tiba dari belakang, sebuah suara menyadarkan perempuan itu dari lamunannya.

"Jangan mengagetkan begitu. Aku bisa terkena serangan jantung," Ucap perempuan itu.

"Aku menelepon kamu tadi." Sosok tamunya tersebut tersebut tersenyum. 

"Aku sedang memikirkan kejadian itu," Ucap perempuan itu.

"Dia sudah lama berselingkuh!"

"Aku masih tidak terima alasan dia berselingkuh." Napas perempuan itu tersengal-sengal. Dia emosi.

"Hei, sudahlah. Yang penting semua sudah selesai." Mata tamunya itu berkilat-kilat.

"Jadi kapan kita akan bulan madu kedua?" Tamunya tersenyum memandang lekat mata perempuan itu.

"Aku harus atur dulu, kamu tahu kan situasinya tidak semudah itu." Perempuan itu menjawab sambil meletakkan kembali rokoknya.

"Kamu memang pintar." Lawan bicaranya tersebut tertawa lepas sekali.

Entah kenapa suara tawa itu mengingatkan perempuan itu pada suara renyah seseorang. Hati perempuan itu sesaat teriris mendengar suara tawa itu. Perempuan itu tahu dia akan merindukan suara renyah itu. Dia akan merindukannya.

Matanya menatap erat pria tamunya itu. Dia tahu waktunya bersama tamunya itu tidak lama. Malam itu langit tidak lagi merah.

Jakarta, 30 Juni 2021

Cerita ini hanya rekaan belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata tanpa kesengajaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun