Pernahkah kamu memperhatikan aplikasi layanan transportasi daring, sewaktu sedang menunggu driver-nya datang, kemudian ada peta online dengan gambar animasi mobil atau motor yang bergerak menyusuri peta tersebut?
Gambar animasi mobil atau motor tersebut menggambarkan seberapa lama lagi si driver akan tiba di depan rumah atau kantor kita.Â
Semakin dekat gambar animasi tersebut ke lokasi kita, maka ada perasaan senang dalam hati bahwa semakin cepat kita akan segera dijemput.
Contoh lain misalnya, bayangkan kita adalah seorang pelari dalam perlombaan Olimpiade. Misalnya, berkompetisi dalam lari 1500 meter.
Dua lap pertama kita berlari dengan kecepatan yang stabil dan konsisten. Berharap untuk tidak tertinggal terlalu jauh sambil juga menghemat energi untuk seluruh balapan.
Sekitar 800 meter setelah berlari, kita merasa mulai lelah dan lambat. Pada jarak 1000 meter, kita merasa "ah...sudahlah, sudah tidak mungkin terkejar". Pada jarak 1300 meter, kita sudah mulai menyerah dan terbayang kekalahan di depan mata.
Tapi begitu mata kita melihat sisa 200 meter sudah di depan mata, mendadak perasaan kita yang tadinya tidak ada energi mendadak hilang.Â
Kemudian kita mulai berlari seperti orang gila. Mendekati 100 meter terakhir, kita berlari makin menggila. Kita sprint habis-habisan, seakan-akan kita mendadak jadi The Flash, adrenalin memuncak.Â
Kita kerahkan semua usaha karena garis finish seakan-akan begitu dekat. Padahal sebelumnya terasa sangat jauh.
Saya pernah dan sering. Perasaan hilang semangat di tengah-tengah dealine pekerjaan, yang kemudian semangat menggebu-gebu malah muncul ketika sudah mendekati batas waktu.
Ini yang dinamakan dengan Goal Gradient. Efek psikologis ini mampu membuat kita melakukan usaha lebih yang belum pernah kita lakukan, ketika garis finish sudah semakin dekat.
Lalu apakah berarti kita tidak perlu termotivasi di awal? Bukan begitu maksudnya, Vicenzo. Yang ingin saya katakan adalah kebanyakan orang-orang termotivasi oleh seberapa banyak yang tersisa untuk mencapai target mereka, bukan seberapa jauh mereka telah melangkah.Â
Ironis memang. Terkadang kita lupa seberapa jauh pencapaian yang telah kita buat, karena kita terlalu sibuk memikirkan apa yang seharusnya kita capai.
Saya pernah mempunyai pengalaman goal gradient ini sewaktu mempersiapkan liburan bersama keluarga. Sewaktu masih jauh dari hari keberangkatan, saya masih santai-santai saja. Ah...masih lama...pikir saya.
Kemudian semakin mendekati hari keberangkatan untuk berlibur, mendadak kesibukan saya dan keluarga meningkat drastis. Persiapan-persiapan yang tadinya tidak terpikir, jadi mendadak muncul semuanya.
Lalu semua keribetan tersebut memuncak pada hari keberangkatan. Keribetan yang mengesalkan sekaligus menyenangkan.
Tapi akhirnya,mau tidak mau kamipun harus ribet. Daripada tujuan akhir kami yaitu berlibur jadi tidak tercapai, karena misalnya ketinggalan paspor.Â
Lalu apa itu goal gradient? Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh ahli di bidang behavioral science, Clark Hull pada tahun 1932.Â
Intinya adalah, saat kita semakin dekat dengan garis finish atau tujuan akhir kita, maka kita secara reflek akan mempercepat reaksi dengan tujuan segera mencapai garis finish dan mendapatkan reward atas pencapaian kita.
Dengan kata lain, kita sebenarnya termotivasi bukan karena seberapa jauh kita telah melangkah, tapi kita termotivasi oleh seberapa dekat lagi kita dengan garis finish tersebut.
Apakah hal ini terdengar akrab? Kita mungkin tanpa sadar memperlihatkan perilaku ini misalnya ketika mendekati momen-momen penting atau ketika akan menghadapi ujian atau presentasi krusial. Adrenalin kita baru muncul satu hari menjelang hari ujian atau hari presentasi tersebut.
Saya berikan contoh lain, misalkan kita ingin mulai membaca buku lebih banyak. Apakah kita menetapkan target untuk membaca 52 buku per tahun atau membaca 1 buku seminggu? Bagaimana dengan 25 halaman per hari? Mana yang akan kita pilih?Â
Saya akan memilih 25 halaman per hari. Kenapa? karena jika kita melihat dari sudut pandang goal gradient ini, semakin dekat kita mencapai tujuan, semakin terdorong kita untuk menyelesaikannya.Â
Itulah sebabnya saya memilih 25 halaman per hari. Dengan menetapkan goal yang achievable tersebut, maka saya akan lebih termotivasi menyelesaikan 25 halaman perhari. Alih-alih 1 buku seminggu.
Sebenarnya goal gradient ini dapat sangat membantu saat menyiapkan rencana konkret untuk mengubah resolusi menjadi kenyataan. Perubahan sederhana dalam bahasa sebenarnya bisa membuat perbedaan besar.
Pada contoh diatas mengenai lari 1500 meter, perubahan kata-kata dari "kita sudah berlari 1300 meter" menjadi "Tinggal 200 meter lagi" akan lebih menginspirasi.
Jadi, pindahkan garis finish itu lebih dekat. Itu tidak curang. Itu memotivasi. Memotivasi dalam bentuk sangat menginspirasi yaitu "Kamu hampir selesai."
Tidak hanya memindahkan garis finish cenderung meningkatkan motivasi kita, tetapi kita akan berulang kali membuktikan pada diri sendiri bahwa kita mampu mencapainya. Ini adalah psikologi perilaku klasik, kita cinta yang namanya penghargaan instan, bukan ditunda.
Saya mencoba membuat ilustrasi goal gradient ini. Silahkan perhatikan gambar di bawah ini:
Supaya psikologis kita terpengaruh, kita harus membuat jarak menuju garis finish itu nyata dan terukur. Mudah kan, Vicenzo? Simpel. Just moving the finish line and then you are good.
Bagaimana Kita Menghadapi Goal Gradient Ini?
Premis saya untuk bagaimana goal gradient ini bisa bermanfaat untuk diri kita adalah dengan memikirkan titik esensial selama perjalanan mencapai tujuan tersebut.
Misalnya, contoh perjalanan target saya untuk membaca 52 buku setahun diatas. Kalau saya memakai target 52 buku setahun, kemungkinan saya gagal mencapai garis finish akan besar. Tetapi jika saya ubah 25 halaman per hari, maka titik esensial tersebut besar kemungkinan akan tercapai.
Lantas berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa cara yang bisa kita coba jalankan sebagai berikut:
1. Membagi-bagi perjalanan tujuan kita menjadi beberapa titik esensial: Contohnya target membaca 52 buku setahun dapat kita pecah menjadi 25 halaman per hari
2. Buatlah penghargaan atas setiap pencapaian di titik esensial tersebut: Misalnya, jika kita berhasil membaca 25 halaman buku per hari maka kita memasukkan lembaran uang sepuluh ribu ke satu toples. Kuno ya? Bagi saya, cara ini efisien dan menyenangkan.
3. Buat komitmen: Nah, hal ini paling penting. Untuk memulai di jalur yang tepat, kita perlu mendapatkan semacam diri sendiri. Misalnya, "Saya siap! ". Tapi yang sering terjadi adalah mengatakan "saya siap" kemudian tidak ada yang dijalankan.Â
Kata Ibu saya dalam bahasa jawa "Nggih..Nggih tapi ora kepanggih" (Iya...iya saja tapi tidak dilaksanakan).
Goal gradient ini dapat kita gunakan untuk membangkitkan motivasi menyelesaikan apa yang seharusnya sudah selesai dan apa yang belum.
Goal gradient adalah tentang apa yang akan memberikan motivasi terbesar menuju suatu tujuan. Mana yang lebih efektif, tanyakan kepada diri sendiri lebih baik fokus kepada apa yang sudah selesai atau berkonsentrasi pada apa yang masih harus diselesaikan.Â
Goal gradient adalah tentang menemukan tujuan hidup kita, tentang apa yang kita percaya. Goal gradient adalah bagaimana kita percaya bahwa satu tujuan akan terasa lebih tercapai ketika kita tidak bernafsu menyelesaikan semuanya dalam satu waktu.
Ini adalah tentang sebuah perjalanan. Yang terpenting adalah kita tahu letak garis akhir-nya, nikmatilah dan percaya bahwa masih banyak jalan menuju Roma.
Salam Hangat.
Referensi: Kivetz, R., Urminsky, O., & Zheng, Y. (2006). The goal-gradient hypothesis resurrected: Purchase acceleration, illusionary goal progress, and customer retention. Journal of marketing research, 43(1), 39-58.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H