Globalisasi, modernisasi, dan liberalisasi entah apalah itu tampaknya kata-kata itu sudah mulai menjadi tersohor di seantero jagad ini, tak terkecuali bumi Nusantara, bumi Indonesia ini.
Generasi muda hingga golongan tua rasanya cukup familiar dengan kata-kata itu. Bukan hanya familiar, bukan hanya sebuah jargon, rasanya ketiganya telah menjadi bagian yang sulit ditolak oleh semua pihak.
Memang dari globalisasi, modernisasi hingga liberalisasi tidaklah melulu negatif, harus kita akui bahwa ada juga sisi positifnya. Namun problemnya adalah masih belum kokohnya kapasitas sumber daya, tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Masih perlu penguatan peran negara dalam hal distribusi layanan publik yang baik dan distribusi program kesejahteraan yang merata, serta perlindungan tradisi-tradisi ataupun nilai-nilai budaya lokal yang membentuk nusantara.
Masyarakat Indonesia saat ini seakan terhanyut dengan kehadiran mereka, mungkin terlalu larut dalam arusnya yang kencang. Globalisasi, modernisasi, dan liberalisasi telah menggerus sedikit banyak dari nilai-nilai budaya Indonesia.
Tak perlulah kita bahas tentang budaya-budaya di setiap daerah, kita semua telah mengetahui hanya tinggal berapa gelintir manusia Indonesia yang masih peduli. Mungkin generasi tua masih banyak yang mengetahui bahkan berusaha melestarikan, tapi generasi muda, mungkin hanya beberapa.
Cobalah kita lihat terhadap warisan budaya kita yang luhur yang menjadi dasar falsafah negara kita, Pancasila yang jika kita peras menjadi tiga kita dapatkan Trisila (Sosio Nasionalis, Sosio Demokrasi dan Ke-Tuhanan), jika kita gali lagi lebih dalam maka kita akan menemukan dari semuanya itu, Gotong Royong.
Gotong Royong merupakan budaya bangsa yang luhur sebab, sejak zaman nenek moyang kita, di bumi Nusantara ini konsep Gotong Royong telah dikenal. Karena Gotong Royong pula kita berhasil menjadi bangsa yang merdeka.
Sebagai contoh penerapan konsep Gotong Royong pada zaman kakek nenek kita, mereka bercerita bahwa jika rumah mereka rusak tetapi tidak punya uang untuk memperbaiki, para tetangga akan dengan senang hati membantu mereka memperbaiki rumah itu, tetangga A akan menyumbang semen, tetangga B akan menyumbang bata, tetangga C menyumbang perkakas, bahkan mereka semua turut memperbaiki rumah tersebut.
Sama halnya jika ada acara selamatan, misalnya pernikahan. Namun sang tuan rumah tidak mempunyai cukup uang untuk itu, makanya para tetangga akan membantu. Ada yang membawa makanan, ada yang membawa minuman, ada pula yang meyumbang tenaga dan semuanya itu dilakukan dengan sukarela.
Dalam konteks era modern sekarang ini, di beberapa daerah terutama masyarakat pedesaan mungkin masih dapat melakukan hal tersebut. Namun, bagaimana daerah lainnya, apalagi masyarakat perkotaan.