Kata relatifisme di dalam sosiologi yaitu adalah melihat perilaku orang dari perspektif orang tersebut. Intinya yaitu relatifisme budaya memberikan prioritas untuk mengerti budaya lain daripada menilainya sebagai “aneh” atau “eksotik”. Dan kebudayaan itu bisa menjadi suatu wadah yang bisa kita terapkan sebagai relatifisme. Seperti kebudayaan yang ada di kota Semarang yaitu yang paling masyhur adalah “Dugderan” dan “Warak Ngendog”. Sejarah “Dugderan” yang ada di kota Lumpia Jawa Tenagh ini berasal dari kata “Dug” dan “Der”. Kata Dug diambil dari suara dari bedug masjid yang ditabuh berkali-kali sebagai tanda datangnya awal bulan Ramadhan. Sedangkan kata “Der” sendiri berasal dari suara dentuman meriam yang disulutkan bersamaan dengan tabuhan bedug.
Tradisi yang sudah berumur ratusan tahun ini terus bertahan ditengah perkembangan jaman. biasanya digelar kira-kira 1-2 minggu sebelum puasa dimulai. Karena sudah berlangsung lama, tradisi Dugderan ini pun sudah menjadi semacam pesta rakyat. Meski sudah jadi semacam pesta rakyat –berupa tari japin, arak-arakan (karnaval) hingga tabuh bedug oleh Walikota Semarang–, tetapi proses ritual (pengumuman awal puasa) tetap menjadi puncak dugderan.
Untuk tetap mempertahankan suasana seperti pada jamannya, dentuman meriam kini biasanya diganti dengan suara-suara petasan atau bleduran. Bleduran terbuat dari bongkahan batang pohon yang dilubangi bagian tengahnya, untuk menghasilkan suara seperti meriam biasanya diberi karbit yang kemudian disulut api.
Menurut sejarah upacara Dugderan diperkirakan mulai berlangsung sejak masa pemerintahan Kanjeng Bupari RMTA Purbaningrat tahun 1881. Beliaulah yang pertama kali menentukan mulainya hari puasa, yaitu setelah Bedug Masjid Agung dan Meriam di halaman Kabupaten dibunyikan masing-masing tiga kali. Namun sebelum bedug dan meriam dibunyikan, diadakan upacara di halaman Kabupaten.
Sedangkan Warak Ngendoksendiri yaitu binatang imajiner warak ngendhog (warak yang bertelur) selalu muncul di Kota Semarang, Jawa Tengah, bersamaan dengan tradisi dugderan untuk menyambut datangnya Ramadhan. Meski hanya ada dalam mitos, warak ngendhog memiliki makna mendalam bagi mereka yang memulai ibadah puasa. Sejenis binatang rekaan yang bertubuh kambing berkepala naga dengan kulit sisik emas, visualisasi warak ngendok dibuat dari kertas warna – warni. Dugderan, yang menurut tradisi berlangsung satu hari sebelum Ramadhan, senantiasa lekat dengan warak ngendhog. (http://www.949goodnewsfm.com/2014/06/tradisi-dugderan-semarang/)
Di festifal ini tak hanya oarang-oarng islam yang datang tetapi semua orang-orang penduduk semarang yang datang, baik itu yang beragama hindu, budha, maupun tionghoa. Semuanya datang untuk menyambut festifal kebudayaan yang ada di Semarang itu. Inilah letak relatifisme sosial yang ada di kota Semarng walaupun dugderan diperingati dengan tujuan menyambut datangnya bulan puasa tetapi agama lain tidak memandang hal itu sebagai suatu keanehan, malahan meka ikut andil di dalam perayaan dugderan tersebut.
Intinya suatu relatfisme adalah tidak menganggap budaya atau adat orang lain itu sebagai keanehan, saling mengerti satu sama lain antar kelompok memberikan suatu semangat persatuan sendiri bagi suatu daerah atau kelompok tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H