*Apa Itu Hukum Perdata Islam Di Indonesia ?*
Â
Hukum perdata Islam dalam agama Islam disebut sebagai fiqih mu'amalah, yaitu aturan yang mengatur hubungan antara individu. Secara umum, hukum perdata Islam mengacu pada norma hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga Islam, seperti hukum pernikahan, perceraian, pewarisan, wasiat, dan wakaf. Namun, secara spesifik, hukum perdata Islam mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hukum bisnis Islam, seperti hukum jual beli, utang piutang, sewa menyewa, upah mengupah, syirkah/serikat, mudharabah, muzara'ah, mukhabarah, dan lain sebagainya.
Dalam hukum perdata diatur mengenai relasi kekeluargaan, seperti pernikahan dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum kekayaan antara pasangan suami istri, relasi antara orang tua dan anak, perwalian, dan curatele. Hukum perdata atau hukum sipil untuk urusan hukum privat materiil, tetapi istilah "sipil" lebih sering digunakan sebagai lawan kata dari "militer".Â
Oleh karena itu, untuk semua urusan hukum privat materiil, lebih baik menggunakan istilah "hukum perdata".
Hukum perdata Islam tidak diberlakukan pada warga negara yang berbeda agama. Materi-materi hukum perdata Islam seperti waris, perkawinan, hibah, wakaf, zakat, dan infak hanya berlaku bagi warga negara yang menganut agama Islam.Â
Dalam hukum perdata Islam, terdapat penelitian mendalam tentang hubungan orangtua dengan anak, gono-gini, perceraian, rujuk, dan segala hal yang terkait dengan sebelum dan sesudah perkawinan, serta persoalan waris, ahli waris, harta, dan bagian-bagian untuk ahli waris, ashabah, dan lain-lain. Hukum perdata Islam juga mengatur berbagai hal tentang bisnis atau perniagaan seperti jual beli, kerja sama permodalan, dan usaha, serta transaksi perasuransian, jaminan, gadai, dan lain-lain.Â
Jadi, hukum perdata islam di indonesia adalah suatu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan dan juga mengatur perihal hubungan-hubungan kekeluargaan.
*Prinsip Perkawinan Menurut UU No. 1 tahun 1974 dan KHI*
Ada beberapa prinsip pernikahan dalam ajaran Islam, yaitu:
1. Para pihak yang mengakhiri perkawinan harus mendapatkan persetujuan bebas. Caranya adalah dengan melamar terlebih dahulu untuk melihat apakah kedua belah pihak menyetujui pernikahan tersebut atau tidak.
2. Tidak semua perempuan boleh menikah dengan laki-laki karena ada peraturan yang melarang perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang harus dihormati.
3. Perkawinan harus diakhiri dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, baik bagi kedua belah pihak maupun syarat-syarat yang berkaitan dengan perkawinan itu sendiri.
4. Perkawinan pada hakekatnya adalah pembentukan keluarga atau keluarga yang tenteram, tenteram dan kekal selama-lamanya.
5. Hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan seimbang di rumah, di mana tanggung jawab menjalankan keluarga berada di tangan laki-laki.
Jika kita bandingkan Prinsip-prinsip perkawinan menurut hukum Islam dan hukum matrimonial, maka dapat dikatakan bahwa keduanya sependapat dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.
Perbedaan Tujuan Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 mendefinisikan perkawinan sebagai berikut: "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang di atasnya Allah SWT. berdasarkan. kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa. ."
Berdasarkan UU Perkawinan dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan menurut hukum adalah untuk mencapai kebahagiaan yang kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Makna kebahagiaan sebenarnya bukan konsep fiqh (hukum Islam). Hal ini sesuai dengan pengertian Sayuti Thalib bahwa perkawinan adalah suatu ikatan yang kokoh dan suci antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, penuh cinta, damai dan kekal. Sedangkan definisi abadi berasal dari ajaran Katolik Roma yang berarti pernikahan adalah hidup dan mati. Namun dapat juga diartikan bahwa harus ada kesetiaan antara suami dan istri dalam pernikahan.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), tujuan perkawinan dijelaskan dalam Pasal 3 KHI yaitu, "Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan ekonomi Sakinah, Mawadda, dan Warahmah." Artinya, tujuan perkawinan sesuai dengan konsep hukum Islam. Perbedaan KHI dengan UU No. 1 Tahun 1974 juga tampak pada penerapan sahnya perkawinan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum setiap agama dan kepercayaan". Artinya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen, Budha atau Hindu adalah sah menurut UU Perkawinan.
Bertentangan dengan Pasal 4 CPI, i. H. "Perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum Islam, menurut Pasal 2(1) UU Perkawinan 1974". Artinya, KHI lebih menekankan perkawinan dalam hukum Islam, namun tetap berdasarkan UU No 1 Tahun 1974.
*Pentingnya Pencatatan Pernikahan dan Dampak secara Sosiologis, Religius, dan Yuridis Jika Tidak dilakuka Pencatatan*
Pencatatan pernikahan sangat penting dilakukan, karena sebagai bukti autentik, bahwa sudah dilakukannya perkawinan, agar terciptanya ketertiban administrasi nikah yang terjadi di masyarakat, melindungi dan menjamin hak-hak suami istri, anak yang akan di lahirkan dan menjamin adanya perdamaian karena tidak menutup kemungkinan terjadi suatu masalah
Akibat hukum yang timbul apabila suatu perkawinan tidak dicatatkan, meskipun perkawinan itu telah dilaksanakan atau sah menurut agama, tetapi perkawinan itu tidak berada di bawah pengetahuan dan penguasaan pencatat. Yang terjadi adalah perempuan tidak sah dianggap sebagai istri dalam pembagian harta bersama, tidak berhak atas nafkah suami dan harta warisan jika suaminya meninggal dunia, tidak berhak atas harta yang bolak-balik dalam hal terjadi kecelakaan Perselisihan dan perpisahan karena peristiwa yang telah terjadi dianggap bukan peristiwa menurut hukum negara perkawinan.
Jika perkawinan tersebut tidak dicatatkan di KUA sementara waktu, maka terdapat beberapa akibat negatif, seperti:
a) Efek sosiologis
Wanita yang menikah di luar nikah sulit berpacaran karena masyarakat cenderung berpandangan negatif. Wanita menikah yang tidak terdaftar dapat dianggap sebagai kisah cinta, tentu saja hal ini sangat merugikan wanita. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat kehilangan banyak haknya. Seorang anak juga bisa membuat teman tertawa. Tentu saja, hal ini sangat berdampak negatif pada pikiran anak. Anak merasa malu sehingga perkembangannya tidak maksimal. Selain itu, perkawinan informal cenderung membuat suami lebih bebas melepaskan tanggung jawabnya dan melakukan kekerasan seksual karena menganggap perempuan hanya sebagai pelampiasan nafsu. Hal ini tentu sangat merugikan istri dan anak.
b) Pengaruh Agama
Jika perkawinan tersebut tidak tercatat secara resmi di KUA, maka dapat menimbulkan masalah dikemudian hari. Hal ini tentu tidak sesuai dengan Maqoside Syariah, yaitu kemaslahatan manusia sangat kuat peranannya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dapat menimbulkan kerugian harus ditolak atau dihindari.
c) Yuridis
Perkawinan yang tidak terdaftar secara resmi di KUA adalah ilegal di negara bagian. Oleh karena itu perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Ini pasti sangat merugikan istri dan anak-anaknya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan kehilangan banyak haknya, termasuk kesulitan untuk mendapatkan akta kelahiran, karena surat nikah atau akta nikah diperlukan untuk mendapatkan akta kelahiran, sedangkan perkawinan informal tidak memiliki akta nikah. Selain itu, anak tersebut tidak memiliki status hukum dan sang ayah dapat dengan mudah menyangkalnya. Apabila hal ini terjadi, maka akan mempengaruhi harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pihak laki-laki akibat kematiannya dan sangat sulit bagi istri dan anak untuk mendapatkan hak waris. Dan kalaupun suami bekerja sebagai PNS, istri dan anak tidak berhak atas tunjangan.
*Pendapat Ulama dan KHI tentang Perkawinan Wanita Hamil*