Pelai! Merauke seh..
Kalimat ini merupakan ungkapan yang menunjukkan rasa heran atau kagum sekali terhadap Merauke. Salah satu kabupaten di ujung timur Indonesia ini memang sangat luar biasa. Pengalaman berdinas selama tiga tahun lebih di Merauke meninggalkan kesan mendalam bagi saya.
Secara umum, mungkin sudah banyak ulasan mengenai Kabupaten Merauke di internet. Namun pada kesempatan ini saya ingin menuliskan tentang kebiasaan masyarakat Merauke sehari-hari yang berkaitan langsung dengan pekerjaan saya. Pada tahun 2010 sampai dengan awal tahun 2013, saya berdinas sebagai polwan di Polres Merauke. Jabatan pertama saya sebagai Ka SPK di Polres Merauke. Ada satu pengalaman luar biasa bagi saya yang menurut saya tidak mungkin terjadi bila saya berdinas di luar Papua. Suatu ketika ada seorang perempuan asli papua datang ke kantor SPK untuk melaporkan bahwa dia dipukuli dan diancam oleh pacarnya yang juga asli Papua.
Pada saat itu, tindakan yang saya ambil adalah menerima laporan yang bersangkutan dan saya ajak untuk berbicara empat mata (sebagai sesama perempuan). Saya menggali akar permasalahannya dengan memintanya bercerita mengenai awal pertemuan sampai pada kasus pemukulannya. Ternyata, dia sering dipaksa untuk melayani sang pacar padahal mereka belum menikah. Menurut ceritanya, pada awalnya dia mau karena merasa cinta pada sang pacar namun lama-kelamaan dia merasa tertekan dan selalu dipukul bila tidak mau melayani.
Akhirnya saya memberikan pemahaman dan masukan kepada si perempuan bahwa dia seharusnya sadar bahwa apabila melakukan seks pra nikah itu adalah salah secara moral dan hukum dan lebih banyak merugikan bagi pihak perempuan. Setelah itu saya tidak pernah bertemu dengan perempuan tersebut. Sampai kemudian suatu hari, saat saya sedang berada di pasar tradisional, saya disapa oleh seorang perempuan yang sedang berjualan hasil kebunnya dan dia berkata : “ibu pasti lupa deng saya eh?” kemudian dia menjelaskan bahwa dia pernah ke kantor, bertemu dan berbicara dengan saya terkait kasus pemukulan.
Setelah itu dia memberikan saya satu sisir pisang jualannya dan dipilihnya yang terbaik. Sungguh eh! (logat orang Merauke) saya terharu, sampai sedemikian dampaknya ternyata dari satu hal kecil yang dapat saya berikan bagi orang lain.
Setelah pada tahun kedua, kemudian saya berpindah tugas ke Satuan Lalu Lintas Polres Merauke. Di Merauke pada setiap perayaan hari jadi Kabupaten Merauke selalu dirayakan dengan mengadakan pawai keliling kota. Pusat Kota Merauke tidaklah terlalu luas sehingga pawai tersebut dilakukan dengan berjalan kaki. Pawai Hari Ulang Tahun Kota Merauke diikuti oleh seluruh unsur masyarakat dan instansi yang ada, seperti murid sekolah mulai dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi.
Selain itu instansi pemerintah, Polri, TNI, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga, Paguyuban dan lain-lain. Dalam pelaksanaan pawai tersebut, direpresentasikan konsep “Bhineka Tunggal Ika” dari seluruh suku di Indonesia mulai dari Aceh sampai dengan Merauke dengan memakai atribut kesukuan secara meriah. Namun, dari tahun ke tahun selama saya di sana dan terlibat dalam kegiatan pawai tersebut tidak pernah ada masalah keamanan atau pun kekacauan yang berarti padahal setiap suku berbaur dan bersuka ria bersama. Pelai! Kompak sampe..
Selain itu perayaan hari raya baik untuk umat nasrani maupun muslim bahkan budha atau hindu pun selalu meriah dan aman. Ada satu tradisi yang juga menarik dan menyentuh hati saya, bahwa pada saat hari raya Natal warga kota yang beragama lain akan berkeliling ke tempat tinggal warga yang merayakan natal dan sebaliknya pada hari raya Idul Fitri pun warga yang beragama non muslim akan mengunjungi tempat tinggal warga yang merayakan lebaran. Betapa kegiatan seperti ini sudah sangat langka di tempat saya lahir, yaitu Jakarta dan bahkan hanya pernah saya alami pada saya masih di Sekolah Dasar.
Namun, dari sekian banyak keistimewaan Merauke, ada satu hal kecil yang paling indah yang langsung menyentuh hati saya saat saya baru pertama datang di kota ini, saya bertemu seorang anak perempuan papua yang berpapasan dengan saya di jalan yang mengucapkan “selamat pagi kaka”. Kemudian yang saya mengerti bahwa ini adalah kebiasaan masyarakatnya baik penduduk asli maupun pendatang yang selalu menyapa dengan salam setiap bertemu orang lain baik yang dikenal maupun tidak dikenal. Betapa kebiasaan yang baik seperti ini, tidak pernah saya sangka saya temukan di kota indah di ujung Indonesia, yang mana di pulau seperti Jawa bahwa orang Papua melekat dengan stigma watak keras dan budaya perangnya ternyata tidak terbukti demikian.
Sungguh luar biasa masyarakat Merauke, dalam keterpencilan di ujung Indonesia ternyata ada masyarakat yang memiliki sifat bersahaja, penuh keramahan, ketulusan dan toleransi antar suku dan agama yang tinggi seperti ini. Mari kita belajar dari masyarakat Merauke. Mari kita eratkan silaturahmi, toleransi dan tenggang rasa antar umat beragama maupun antar suku bangsa. Agar hidup kita indah dan damai. Serta, “don’t judge a book from it cover” yang artinya menurut saya dapat disamakan dengan “tak kenal maka tak sayang”. Saya datang ke kota ini, saya kenali kota ini dan segala yang ada di atas kota ini maka akhirnya saya pun sayang Merauke. Dari beberapa kabupaten dan kota di Provinsi Papua dan Papua Barat yang pernah saya datangi, kota yang memiliki semboyan Izakod Bekai Izakod Kai ini meninggalkan kesan yang sangat mendalam di hati saya dan akan tersimpan di dalam memori saya selamanya.