Beberapa waktu lalu banyak kejadian yang ditenggarai bahwa penyebabnya adalah hate speech atau ujaran kebencian. Salah satu contoh kasus hate speech di Indonesia adalah kasus ketika Luna Maya memaki infotainment lewat twitter yang terjadi pada akhir tahun 2009 dengan ucapan :
“Jadi bingung kenapa manusia sekarang lebih kaya setan dibandingkan dengan setannya sendiri...apa yang disebut manusia udah jadi setan semua??”; “Infotement derajatnya lbh HINA daripada PELACUR, PEMBUNUH!!!! May your soul burn in hell!!”
Peristiwa terjadi saat Luna Maya menghadiri acara premier film “Sang Pemimpi” yang berlokasi di EX Plaza, tanggal 15 Desember malam hari. Kasus ini bahkan sempat dilaporkan ke polisi meski akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan.
Selain itu ada contoh kasus lain, yaitu kasus Prita yang dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional lewat e-mail. Kronologis dimulai pada tanggal 7 Agustus 2008 sekitar pukul 20.30 ketika Prita datang ke UGD karena keluhan panas selama 3 hari, sakit kepala berat, mual, muntah, sakit tenggorokan, tidak BAB selama 3 hari, dan tidak nafsu makan. Pada saat pemeriksaan darah, ternyata terbilang jumlah trombosit Prita 181.000/ul dan kemudian dilakukan terapi. Selama 4 hari dirawat, ternyata gejala-gejala tersebut sudah mulai menghilang, namun timbul gondongan yang muncul di lehernya. Setelah mengetahui adanya gondongan di lehernya, Prita lansung izin pulang dan mengisi form suggestion karena merasa tidak puas dengan layanan yang diberikan oleh rumah sakit. Tidak hanya lewat form suggestion, tetapi juga membuat surat lewat e-mail dan situs dengan judul "Penipuan OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang", yang kemudian disebarluaskan ke berbagai alamat e-mail.
Dalam menggunakan hak kebebasan mengemukakan pendapat, kita seharusnya memegang prinsip bebas dan bertanggung jawab. Bebas artinya bahwa segala ide, pikiran atau pendapat kita dapat dikemukakan secara bebas tanpa tekanan dari siapa pun. Bertanggung jawab maksudnya bahwa ide, pikiran atau pendapat kita tersebut harus dilandasi akal sehat, niat baik dan norma-norma yang berlaku. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Prinsip bebas tersebut seyogyanya oleh masyarakat Indonesia dipahami dan dilakukan sesuai tata krama kita sebagai bangsa yang masyarakatnya sejak dahulu dikenal karena keramahan dan sopan santunnya yang tinggi. Yang kemudian terjadi seiring berjalannya waktu dan kemajuan jaman justru banyak perubahan dalam sikap dan tingkah laku masyarakat Indonesia secara umum. Bahkan menurut survey yang dilakukan oleh Reader’s Digest pada tahun 2006 di beberapa kota besar seluruh dunia meliputi kesopanan di berbagai sektor, terutama di bagian pelayanan umum. Hasilnya cukup mencengangkan, Indonesia yang diwakili oleh ibu kota Jakarta menempati posisi 27 dari 35 kota yang disurvey. Bayangkan apa yang terjadi dengan hasil survey hari ini ? Kalau sembilan tahun lalu saja, Indonesia sudah berada di peringkat delapan dari belakang dari hanya 35 kota di dunia yang diambil sebagai sampel survey.
Pertanyaan di manakah kini kesopanan itu berada jika dalam menyampaikan pendapat kita sudah tidak ada lagi etika dan kesopanan ? Kini sudah terjawab, norma yang mengatur etika masyarakat saat ini sudah tergerus oleh kemajuan dan kebebasan. Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi yang memudahkan setiap orang untuk mengakses informasi melalui berbagai media termasuk internet. Setiap pribadi merasa bebas untuk menyampaikan pendapatnya apabila dia merasa hak-haknya terusik atau merasa ada yang tidak benar dari informasi yang didapatnya langsung melalui media sosial yang banyak macamnya tanpa memikirkan efeknya atau akibatnya baik jangka pendek maupun jangka panjang hanya karena pada umumnya sudah dikuasai oleh emosi.
Hidup berdemokrasi bukan berarti bebas tanpa aturan. Demokrasi juga memiliki batasan agar tidak melanggar hukum. Jika tidak ada batasan dalam menyampaikan pendapat maka berpotensi melanggar HAM serta berpotensi menimbulkan konflik. Oleh sebab itu, maka perlu adanya batasan lain yang dapat mengatur dan mengikat terkait penyampaian pendapat terutama mengenai hate speech. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran (SE) No. SE/6/X/2015 yang mengatur tentang hate speech atau ujaran kebencian yang diedarkan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti pada tanggal 8 Oktober yang lalu adalah untuk memperjelas perbedaan antara dimensi ujaran kebencian dan kebebasan berekspresi.
Surat Edaran (SE) No. SE/6/X/2015 yang mengatur tentang hate speech atau ujaran kebencian dibuat dengan berdasarkan analisa dan evaluasi sejak jaman Wakil Kapolri dijabat oleh Komjen Pol. Purn. Nanan Soekarna pada periode Maret 2011 - Agustus 2013 melalui pembahasan di seminar-seminar selama lebih dari lima tahun pembahasan serta berdasarkan informasi bahwa jajaran Polri masih ragu menerapkan pasal hate speech yang diatur dalam KUHP tersebut akhirnya Polri memutuskan bahwa surat edaran mengenai ujaran kebencian harus dikeluarkan dan dikirimkan ke Kepolisian Sektor dan Resor di seluruh pelosok tanah air dengan tujuan agar personil Polri paham dan mampu menangani kasus-kasus terkait hate speech di masyarakat sehingga dapat diredam sebelum sampai menjadi permasalahan yang meresahkan ataupun mengganggu ketertiban masyarakat.
Secara umum ketentuan mengenai hate speech terhadap seseorang semuanya diatur di dalam Buku I KUHP Bab XVI khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317, dan Pasal 318 KUHP. Sementara, penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap pemerintah, organisasi, atau suatu kelompok diatur dalam pasal-pasal khusus, yaitu
- Penghinaan terhadap kepala negara asing (Pasal 142 dan Pasal 143 KUHP)
- Penghinaan terhadap segolongan penduduk/kelompok/organisasi (Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP)
- Penghinaan terhadap pegawai agama (Pasal 177 KUHP)
- Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia (Pasal 207 dan pasal 208 KUHP)
Dengan demikian menurut saya, setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya di muka umum melalui media apapun yang diinginkan asalkan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Namun, setiap orang juga wajib mengetahui mana yang masuk ke dalam kriteria hate speech dan mana yang tidak termasuk sehingga dapat mengontrol dirinya agar jangan sampai melampaui batasan yang berlaku. Sedangkan, penerapan Surat Edaran hendaknya tidak dijustifikasi sebelum dipahami isi dan tujuannya. Setiap kebijakan maupun regulasi yang dibuat semua tujuannya baik, tetapi apabila dalam perjalanan penerapannya ada koreksi maupun perbaikan maka harus segera dikaji kembali.