Pandemi Covid-19 menjadi tantangan besar bagi berbagai pihak yang berdampak pada terjadinya gangguan bisnis dalam skala besar dan krisis sosial eknomi. Tidak hanya pemerintah dan pelaku usaha, pekerja merupakan salah satu pihak yang merasakan akibat dari adanya pandemi Covid-19. Kerentanan pekerja terhadap resiko yang terkait dengan kurangnya pekerjaan yang layak, hilangnya pendapatan, praktik perburuhan yang eksploitatif, dan kemiskinan telah bertambah parah.
Berbagai permasalahan yang timbul dari meluasnya pandemi Covid-19 ini tentunya mempengaruhi peningkatan kemiskinan yang signifikan. Hal ini membuat anak-anak berisiko kehilangan hak-hak dasar mereka dan akses layanan esensial. Tidak hanya itu, kemiskinan rumah tangga juga menjadi faktor utama tingginya pekerja anak. Efek dari pandemi ini menjadi faktor utama meroketnya jumlah pekerja anak yang tidak bisa dipungkiri, mengingat rumah tangga yang mengalami kemiskinan akan menggunakan segala upaya demi memenuhi kebutuhan agar bisa bertahan hidup.
Tidak banyak masyarakat yang menyadari bahwa persoalan eksploitasi dan kekerasan atau pemaksaan anak masih kerap terjadi di Indonesia. Jumlah kasus yang ada bahkan meningkat seiring waktu. Meningkatnya kasus eksploitasi dan kekerasan terhadap anak, menjadi indikasi bahwa sistem perlindungan anak masih perlu diperkuat agar terjadi perubahan norma sosial yang melindungi, peningkatan partisipasi, dan kecakapan hidup anak serta keterlibatan masyarakat dalam memonitoring dan penangan pekerja anak yang komperhensif.
Masalah pekerja anak terjadi karena sebagian besar dipengaruhi oleh kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan ekosistem layanan perlindungan anak yang tidak memadai. Sejak pandemi Covid-19 di Indonseia pada awal 2020, jumlah anak yang bekerja semakin meningkat. Data Sakernas Agustus 2020 menyebutkan jumlah anak yang bekerja di Indonesia sekitar 2.176.389 anak. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada Agustus 2019 yaitu anak bekerja sejumlah 1.633.020 anak. Salah satu penyebab atas peningkatan anak bekerja di masa pandemi adalah keluarga yang memanfaatkan anak untuk dipekerjakan agar menambah penghasilan keluarga.
Menilik data yang dirilis oleh UNICEF, setidaknya ada 5 juta anak di Indonesia baik sebagai tanggungan pekerja kelapa sawit atau pekerja di perkebunan sawit. Pekerja anak pada perkebunan sawit ini dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan kurangnya kesempatan dalam pendidikan yang akhirnya anak-anak dipaksa bekerja untuk membantu keluarga untuk menambah penghasilan.
Adanya anak yang bekerja di perkebunan kelapa sawit sebenarnya bertentangan dengan regulasi yang berlaku. Pasal 68 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketanagakerjaan telah memberikan larangan tegas, "Pengusaha dilarang memperkerjakan anak, namun terdapat pengecualian pada pasal 69 ayat (1) yaitu dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13-15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial". Meskipun terdapat pengecualian, namun pengusaha yang meperkerjakan anak pada pekerjaan ringan juga harus memenuhi persyaratan yang ketat sesuai dengan Pasal 69 ayat (2).
Pekerja anak tidak seharusnya terjadi apabila semua pemangku kepentingan memperhatikan dan menjalankan UU RI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 52 ayat (1) menyatakan setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Terkait dengan anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa semestinya tidak ada kewajiban bagi anak untuk bekerja. Anak justru harus mendapatkan perhatian dan bantuan khusus dari negara melalui semua upaya perlindungan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 25 ayat (2) bahwa "Ibu dan anak-anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahrikan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama".
Di Indonesia, hukum nasional yang mengatur perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi sudah lengkap dan telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum Internasional. Hal ini bisa dimulai dari UU No. 39 Tahun Tentang Hak Asasi Manusia pasal 64 bahwa "Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya".
Upaya pencegahan dan penghapusan pekerja anak tentunya harus dilakukan berbagai langkah dan melibatkan banyak pihak. Kementrian terkait dalam menjalankan programnya dapat terus menggandeng sejumlah pihak seperti organisasi non-pemerintah khususnya pemerhati anak. Penghapusan pekerja anak tentunya akan menjadi selaras dengan upaya pencegahan kemiskinan, yaitu dengan peningkatan kesejahteraan pekerja, akses lowongan kerja, dan pekerjaan yang layak. Dalam hal ini tidak hanya pemerintah, tetapi juga pelaku usaha serta para pemangku kepentingan di kalangan masyarakat sipil juga harus ikut andil dalam upaya pencegahan eksploitasi anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H