Guru. Cahaya dunia nan pembentuk masa depan, para pahlawan tanpa tanpa jasa. Namun, dengan adanya yang berlindung dibalik gelar-gelar panjang di awal dan akhir nama mereka, mengapa seolah-olah seperti orang tak beradab?
Memang rasanya hanya orang-orang hipokrit yang melangkahkan kaki di Indonesia. Makhluk berkaki dua, mengenakan jas, dan memanggil diri mereka seorang ahli. Diantara mereka adalah orang munafik yang membesar-besarkan diri, tetapi menjadi manusia baik saja tak bisa. Orang-orang ini bersembunyi di balik posisi-posisi besar, di balik sebuah jabatan, dan di balik gelar-gelar akademik yang mereka "capai" dengan kerja keras. Dosen-dosen Indonesia, walau katanya orang-orang berintelektual, ternyata masih saja banyak orang-orang tak beradab. Mau itu gelar S3, atau sederet gelar di belakang nama mereka, terkadang masih jauh lebih beradab orang-orang sederhana daripada manusia-manusia ini. Bertindak jujur sendiri saja tidak bisa, gimana ceritanya memaksa mahasiswa melakukan semuanya sendiri? Mimpi setinggi langit menjadi negara modern, tapi seringkali mengurus pendidikan saja belum benar.
Inilah hipokrisi negara ini. Tapi, memang ini harus diperbaiki. Kalau Indonesia ingin berkembang dalam tingkat Internasional, semua harus berawal dari hal-hal sederhana. Menjadi Profesor harusnya bukan hanya melalui pelatihan akademik. Menjadi seorang intelektual bukan hanya tahu banyak atau mendapat nilai bagus, seharusnya jauh lebih dari itu. Diperlukan proses yang lebih teliti dan detail dalam mengangkat calon-calon dosen menjadi Profesor agar hal semacam ini tidak terjadi. Integritas akademik sangatlah penting agar mampu membawakan ilmu pengetahuan yang jujur dan bermanfaat bagi seluruh dunia, membawakan Indonesia dalam dunia sains yang semakin luas. Namun, kembali pada topik, sebenarnya apa permasalahan besar dalam dunia pendidikan tinggi saat ini?
Salah satu permasalahan terbesar jelas berkaitan dengan masalah gelar "profesor" yang sedang marak dalam berbagai daerah dan di seluruh Indonesia. Dalam sebuah berita yang dibawakan BBC News Indonesia, salah satu kasus yaitu skandal guru besar Universitas Lampung Mangkurat. Kasus ini berkaitan dengan proses pengajuan dosen menjadi guru besar yang tidak mengikuti prosedur dengan baik. Terdapat 11 dosen yang diduga melanggar praktik-praktik akademik dan melanggar norma serta kewajaran dalam ruang lingkup pendidikan. Kasus ini diduga terjadi karena adanya penyogokan sejumlah uang kepada penerbit jurnal hingga praktik "jurnal predator" atau jurnal "bajakan" yang belum diperiksa dengan baik dan kualitasnya diragukan. Akar permasalahan yang menimbulkan juga banyak. Mulai dari tunjangan yang lebih besar bagi guru besar hingga kehormatan yang diperoleh menjadi incaran banyak orang. Ini hanya "puncak gunung es" bila kata Arief Anshory, guru besar Ekonomi di Universitas Padjadjaran.
Bukan hanya itu saja kasus yang menjerat para petinggi-petinggi di berbagai universitas favorit di negeri ini. Aksi pelanggaran HAM berat, berupa perdagangan orang bahkan sudah terjadi. Bayangkan, perdagangan orang yang terjadi melalui institusi pendidikan. Dalam berita detik.com, guru besar saat itu Prof Sihol Situngkir dari Universitas Jambi disangka ikut terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menimbulkan korban 87 mahasiswa, 84 diantaranya mahasiswa Universitas Jambi. Insiden ini terjadi dalam bentuk penipuan, menipu mahasiswa yang mengira mereka magang dalam ferienjob di Jerman. Terbukanya kasus ini menjadi akhir dari karier guru besar itu dan hingga sekarang insiden ini masih terus dalam tahap penyelidikan dan belum kian selesai.
Heran, bagaimana mungkin seorang pendidik, seorang yang menjadi "pelita dalam kegelapan" justru menjerumuskan murid-muridnya sendiri dalam hal-hal yang salah. Â Dibandingkan kasus sebelumnya, sudah bagus hanya melebih-lebihkan kualitas diri, ini malah menjerumuskan puluhan mahasiswa. Â Bagaikan ular berkaki, banyak dosen-dosen ini berjalan diantara kita. Berbicara yang manis-manis, berhati licik, dengan niat tersembunyi di balik senyuman. Pesona "pendidik" yang mereka bangun tak sesungguhnya muncul atas cinta mengajar. Justru, ambisi mendapat kekuasaan mendorong diri mereka menggapai peringkat-peringkat perkuliahan agar dipanggil seorang profesor. Manusia licik nan cerdas inilah, yang bila dibiarkan begitu saja, suatu saat nanti akan menjadi penyebab jatuhnya bangsa Indonesia di masa akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H