Aku seringkali ngeyel kalau dibilangin suami, setiap nasehatnya terlewatkan begitu saja. Terkadang di luar kendali hingga melanggar larangan tanpa pantangan. Seketika relung hati ini merasa bersalah karena diam-diam ia memperhatikan ulahku, meskipun dengan omelan bahkan ia kerap komplain pertanda sayang.Â
"Jangan banyak makan nasi, bahaya, Ma!" nasihat suami di suatu hari.
Namun, tak kuindahkan amanatnya, sampai masalah pun muncul dan aku baru menyadarinya pada akhir Januari lalu. Terlihat kakiku dalam kondisi tidak  bisa berjalan, terasa kebas dan langkah tertatih-tatih.Â
"Pa, kaki mama susah gerak, nih?" rintihku menahan nyeri saat bangkit dari tempat duduk.
Aku melihat ekspresi cemas, di wajah suamiku takkala mendengar nada ringisan dengan mengernyitkan sudut keningnya. Â
Tiba-tiba, keluarlah serentetan omelan, rasa kekesalan dia. Â
"Itulah, Ma. Dibilangin malah ngelunjak," teriaknya keras sambil memelototiku.Â
"Haahh...," hardik suami dengan nada tinggi buatku terkejut.Â
Aku diam tertunduk pilu, seketika raut wajah berubah cemberut menahan emosi. Isteri mana yang rela dimarahi kala dirinya mengalami kesakitan, walaupun jelas-jelas aku yang keras kepala.Â
"Ya, Tuhan? Salahku apa ya?" gumamku dengan wajah merengut..Â
Tega sekali suami membentak istrinya, yang sedang butuh semangat, hiks. Seketika bola mataku mulai tidak bersahabat lagi, ingin ku tumpahkan rasa dan pergi menjauh membawa luka perasaan teramat dalam. Pada saat aku sakit malahan dia berang. Sungguh, kebiasaan jelek pun kambuh lagi sebagai wujud mengademkan jiwa. Sebagaimana biasa, kekecewaan itu justru terlampiaskan dengan mengunyah, layaknya omnivora.Â
Sakitku tak kunjung sembuh, dan anehnya berat badan pun meningkat drastis. Dokter yang aku kunjungi sampai pangling.Â
"Ibu harus di cek-up lengkap," instruksi dokter spesialis bagian internis.
Lantas, aku bertanya, "Dokter, apakah penyakit yang aku derita ini parah?"Â
"Menurut ilmu kedokteran, saya prediksikan ibu memiliki penyakit penyerta lainnya karena kaki bu Rina sudah susah digerakkan," ucap dokter menyakinkan pasiennya.
"Bagaimana, Bu?" imbuh dokter internis langsung menanyakan padaku usai berdiskusi dengan keluarga.Â
"Baiklah, Dokter!" sahutku setelah meminta izin suami via telepon.Â
Sementara di ruang tunggu banyak pasien lainnya sedang antrian. Aku duduk berjejer di bangku sebelah pojokan. Terlintas di benakku bagaimana hasil pemeriksaan nantinya, berharap semuanya baik-baik saja.Â
Setelah beberapa jam menunggu keluarlah hasil pemeriksaan laboratorium tadi. Suara petugas menyadarkan diriku bahwa sedari tadi namaku dipanggil, jantungku berdebar perlahan hingga suasana hati kembali normal. Ternyata, lamunan tingkat tinggi teramat jauh sampai hanyut di suasana keheningan.
"Ibu Rina?" panggil seorang petugas bagian administrasi.
Aku terkesiap menyahutinya dan segera mendatangi loket pembayaran di bagian administrasi.Â
"Ibu silahkan melunasi biaya administrasi sebesar 3 juta. Ini billing pembayaran bu Rina!" ujar petugas sembari menyerahkan berkas untuk ditandatangani.Â
Pandanganku mengabur diikuti jalan sempoyongan. Seketika langkah menjadi oleng saat mendengar jumlah biaya administrasi membuatku tambah sakit.Â
"Oh, aku jadi lemes begini, andai memeriksakan diri dengan memakai BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) di kotaku gratis. Huft!" gerutuku semakin kesal.Â
"Ternyata, sehat itu jauh lebih mahal. Aku bertekad setelah mendapat hasil cek-up ini, segera memutuskan berubah.," janjiku dalam hati.Â
"Bu Rina?" suara perawat memanggil nama pasien sambil tersenyum menoleh kearahku.Â
Bergegas, aku memasuki ruangan dokter internis untuk sesi konsultasi. Terlihat Dokter, mulai  membaca hasil laborku.
"Ibu Rina? silahkan duduk dulu. Setelah saya menganalisa hasil labor ibu, ternyata yang kita takutkan tidak terjadi. Hasilnya semua normal," jelas dokter panjang lebar dengan memperlihatkan raut wajah tersenyum.Â
"Syukurlah!" batinku berucap.
"Tapi, dimana-mana ada perlemakan, di hati dan jantung ibu Rina. Satu-satunya cara, ibu harus minum jamu," imbuhnya lagi.
"Waduuhh, ini dokter, koq kampungan banget, ya?" pikirku, nggak terima.
"Dok, maksudnya apa sih?" tukasku agak sewot.Â
"Bu Rina, harus jaga mulut (Jamu), juga selektif dalam mengatur pola makan, jangan lupa berolah raga" tegas dokter berulang-ulang sambil menyudahi obrolannya.Â
Seerr, perasaanku mulai tak nyaman berada di ruangan dokter tersebut. Hawa sekeliling terasa panas dan remuk, begitu juga menciutnya hatiku dihimpit rasa malu.
Ingat kata-kata suami yang jarang aku taati, padahal sumber penyakitku penting diobati yaitu menurunkan berat badan minimal 20 kg. Sama persis dengan pesan dokter internis yang aku kunjungi hari itu. Â
Overweight, nyaris membuatku lumpuh
Overweight, nyaris membuatku hilang pekerjaan
Overweight, nyaris membuatku kehilangan orang orang yang ku cintai
Overweight, nyaris menguras hartakuÂ
Overweight nyaris membunuhku
Setiba di kota asal, aku langsung menemui suami tercinta, alih-alih ia akan menghibur hatiku yang sedang risau.Â
"Aku tidak mau kalah dan terpuruk dengan keadaan, bantu aku sayang!" rengekku manja pada suami dengan tatapan penuh harap.Â
"Aku tidak pernah bosan untuk menulis, karena hoby menulis adalah cinta pertamaku yang tertunda"-Nanda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H