Tega sekali suami membentak istrinya, yang sedang butuh semangat, hiks. Seketika bola mataku mulai tidak bersahabat lagi, ingin ku tumpahkan rasa dan pergi menjauh membawa luka perasaan teramat dalam. Pada saat aku sakit malahan dia berang. Sungguh, kebiasaan jelek pun kambuh lagi sebagai wujud mengademkan jiwa. Sebagaimana biasa, kekecewaan itu justru terlampiaskan dengan mengunyah, layaknya omnivora.Â
Sakitku tak kunjung sembuh, dan anehnya berat badan pun meningkat drastis. Dokter yang aku kunjungi sampai pangling.Â
"Ibu harus di cek-up lengkap," instruksi dokter spesialis bagian internis.
Lantas, aku bertanya, "Dokter, apakah penyakit yang aku derita ini parah?"Â
"Menurut ilmu kedokteran, saya prediksikan ibu memiliki penyakit penyerta lainnya karena kaki bu Rina sudah susah digerakkan," ucap dokter menyakinkan pasiennya.
"Bagaimana, Bu?" imbuh dokter internis langsung menanyakan padaku usai berdiskusi dengan keluarga.Â
"Baiklah, Dokter!" sahutku setelah meminta izin suami via telepon.Â
Sementara di ruang tunggu banyak pasien lainnya sedang antrian. Aku duduk berjejer di bangku sebelah pojokan. Terlintas di benakku bagaimana hasil pemeriksaan nantinya, berharap semuanya baik-baik saja.Â
Setelah beberapa jam menunggu keluarlah hasil pemeriksaan laboratorium tadi. Suara petugas menyadarkan diriku bahwa sedari tadi namaku dipanggil, jantungku berdebar perlahan hingga suasana hati kembali normal. Ternyata, lamunan tingkat tinggi teramat jauh sampai hanyut di suasana keheningan.
"Ibu Rina?" panggil seorang petugas bagian administrasi.
Aku terkesiap menyahutinya dan segera mendatangi loket pembayaran di bagian administrasi.Â