Mohon tunggu...
nancyyulia
nancyyulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

S-1 Psikologi, Universitas Prima Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Intermezzo yang Kebablasan atau Gejala Psikologi Abnorma

31 Januari 2025   12:17 Diperbarui: 31 Januari 2025   12:17 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pendidikan merupakan proses yang dilakukan dengan sengaja untuk meningkatkan pengetahuan yang lebih baik dari keadaan yang sebelumnya. Ahmad D. Marimba (1989:19) mengartikan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama peserta didik setelah mendapat bimbingan dari si pendidik.
Namun dalam prakteknya kadang kala peserta didik mengalami rasa bosan dan jenuh dalam belajar. Menurt Muhibin Syah (1997:165) bahwa kejenuhan dapat terjadi karena proses belajar siswa telah sampai batas kemampuan jasmaniah karena bosan dan keletihan. Oleh karena itu saat berinteraksi dengan anak didik, biasanya intermezzo menjadi alternatif para tenaga pendidik untuk menarik kembali perhatian anak didiknya.
Intermezzo atau jeda sejenak dalam aktivitas belajar dipercaya bisa membangun suasana belajar yang lebih relaks dan serta diharap bisa membangun kedekatan antara tenaga pendidik dengan siswanya. Berbagai teori terkait intermezzo seperti pandangan Psikolog Mihaly Csikszentmihalyi, istirahat sejenak memang dapat membantu otak mempersiapkan kondisinya untuk berfikir lebih inovatif.
Psikolog lainnya Christina Maslach, seorang peneliti burnout, menegaskan bahwa mengambil jeda secara teratur dapat mencegah kelelahan kronis akibat tekanan terus menerus. Teori tersebut seiring dengan paradigma tenaga pendidik bahwa dengan intermezzo, siswa akan lebih fokus dalam belajar serta tenaga pendidik bisa memahami karakter anak didiknya lebih dalam, serta mengeksplore kemampuan mereka lebih baik karena mereka berada dalam kondisi optimal untuk belajar dan tidak tertekan.
Dewasa ini berbagai metode intermezzo yang dilakukan oleh tenaga pendidik semakin variatif. Intermezzo tidak lagi semata dalam bentuk pantun, cerita motivasi, atau lelucon seperti yang biasanya kita temui dalam metode pengajaran pada zaman dahulu. Intermezzo tenaga pendidik belakangan ini juga mulai terintegrasi dengan kemajuan teknologi AI dan penggunaan platform social media. Pembuatan konten social media terkait kebersamaan antara tenaga pengajar dan anak didik melalui platform seperti reels Instagram maupun tiktok menjadi alternatif "kekinian" yang dilakukan terutama oleh tenaga pendidik.
 Jika mengacu kepada objektifitas awal bahwa untuk membangun suasana belajar dan mengoptimalkan bonding dengan siswa tentu akan menjadi hal positif yang perlu didukung seluruh pihak. Namun bagaimana jika dalam pengaplikasian intermezzo tersebut, ternyata malah menjadi terlalu masif dan seakan tidak terkontrol oleh Lembaga Pendidikan sebagai instansi yang memfasilitasi dan berkewajiban mengontrol Bonding antara Tenaga pendidik dan peserta didiknya?
Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya serta tenaga kependidikan merupakan fungsi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terutama Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. Hal ini tercantum dalam  Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tugas dan fungsi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kontrol dalam dunia pendidikan akan membuat lingkungan pendidikan menjadi optimal. Esensi dari dunia Pendidikan harus tetap mengutamakan adab, ilmu dan penguatan karakter. Selaras dengan tujuan Pendidikan yang mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan tentu saja budaya Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi budaya "ketimuran" dan sopan santun dalam berinteraksi terutama di lingkungan akademik.
Kenyataannya, saat ini kerap kali ditemukan terutama di Platform Social Media seperti TikTok terdapat konten "Joget Bareng" antara tenaga pendidik dan siswanya dengan berbagai gerakan dan penggunaan lagu asing tanpa dipahami makna lagu yang seharusnya dilarang bahkan sebaiknya di blacklist oleh dunia Pendidikan. Tidak hanya dikalangan usia remaja dimana mayoritas siswa jenjang menengah (SMP) dan tinggi (SMA), tren  "Joget Bareng" ini juga mulai melibatkan anak-anak jenjang Sekolah Dasar (SD).
Penulis mencontohkan beberapa lagu yang saat ini sedang viral dan menjadi hits di aplikasi TikTok dan sering diakses ritme musiknya untuk "Joget Bareng" tenaga pendidik dan siswanya seperti lagu "APT" dari Rose Blackpink dan Bruno Mars yang terang-terangan menceritakan ajakan pasangan kekasih untuk menghabiskan waktu bersama di apartmen. Selain itu juga terdapat lagu "Seven" oleh Jungkook dan Latto yang menjelaskan aktivitas orang dewasa selama tujuh hari. Tentu lagu ini tidak pantas digunakan dan kebablasan jika digunakan sebagai intermezzo di lingkungan dunia pendidikan.
Aktifitas intermezzo kebablasan tersebut jika dihubungkan dengan teori psikologi, bisa dikategorikan sebagai kecenderungan psikologi abnormal. Psikologi abnormal merupakan cabang psikologi yang mempelajari pola perilaku, pikiran, dan emosi yang menyimpang dari norma sosial atau dianggap tidak sehat secara psikologis.
Adalah menjadi perhatian apakah intermezzo tersebut benar-benar bertujuan untuk kepentingan fokus pembelajaran siswa, pendalaman karakter, relaksasi pemancing kreatifitas, atau justru pengaruh terlalu mengikuti permintaan anak didik karena ketidakpahaman, bahkan bisa jadi juga - agak ekstrim - sebagai pengalih fokus yang mana subjek yang membutuhkan intermezzo sebenarnya adalah si tenaga pendidik itu sendiri.
Tidak dipungkiri bahwa menjadi tenaga pendidik juga memiliki tingkat stress yang tinggi dan berpotensi untuk mengakibatkan kecenderungan kelelahan mental yang juga bisa terjadi. Rentan usia tenaga pendidik, maupun pembekalan atau sertifikasi kelayakan sebagai fasilitator secara emosional juga menjadi hal yang harus diperhatikan oleh instansi yang menaunginya.
Wardana (dalam jurnal Herwanto, & Ummi 2013) mengemukakan meningkatnya kualitas pendidikan tidak akan signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas. Oleh karena itu menurut penulis, sebagian dari tenaga pendidik masih membutuhkan pembelajaran lebih optimal terkait pengenalan dirinya agar dapat total dalam mengabdikan diri sebagai tenaga pedidik agar tidak mengarah kepada gejala prilaku abnormal karena "kebablasan" tadi.
Lalu apa hal yang seharusnya menjadi solusi ditengah kebablasan intermezzo tenaga pendidik yang secara tidak sengaja sudah mengarah kepada kategori gejala psikologi abnormal pendidik ini? Pertama, menurut penulis diperlukan batasan intermezzo dan tentu saja jika memang harus berupa konten media social, sebaiknya diselaraskan dengan bahan ajar yang menjadi fokus dari siswa tersebut. Sebagai contoh, pembuatan konten tarian tradisional, lagu kebangsaan, dan tebak-tebakan oleh tenaga pendidik yang memang mengajar mata pelajaran kesenian. Bisa juga menggunakan informasi sains untuk tenaga pengajar mata pelajaran terkait, serta contoh lainnya yang memang terhubung dengan materi ajarnya.
Kedua, memastikan ketentuan penggunaan social media sudah dipahami baik oleh tenaga pendidik maupun siswa. Rentang usia mengambil peranan penting disini. Tidak sedikit orang tua yang keberatan video anaknya di ekspos atau di upload dan dijadikan konten social media tenaga pendidik tanpa seijin mereka karena hal tersebut dapat mengancam keamanan anak mereka.
Ketiga, peningkatan kompetensi atau upgrade ilmu digitalisasi oleh tenaga pendidik, hal ini bertujuan agar tenaga pendidik tidak menjadi "subject ikut-ikutan" yang menyetujui sepenuhnya ajakan dari anak didiknya tanpa melakukan penyaringan terlebih dahulu dampak positif dan negatif aktifitas bonding dimaksud. Solusi ini juga mencakup bahwa menjadi tenaga pengajar haruslah meningkatkan kemampuan berbahasa, dalam hal ini Bahasa inggris, agar bisa secara selektif melakukan filterisasi.
Namun ketiga solusi diatas membutuhkan support dari banyak pihak tidak bisa dibebankan kepada tenaga pendidik saja. Tenaga pendidik sebagai "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa", dewasa ini sering menjadi objek yang disalahkan atas berbagai kejadian namun masih cukup jarang dipuji atas keberhasilannya menghantarkan pencapaian positif anak didiknya. Pandangan penulis terkait hal ini semoga bisa membuka mata pembaca bahwasanya Intermezzo antara tenaga pendidik dan anak didiknya dapat diatur agar tidak kebablasan, dan potensi munculnya gejala psikologi abnormal di lingkungan Pendidikan dapat dikendalikan selama ada kepedulian dan langkah pasti pihak terkait seperti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun