Drs H Ali Yusri MS Oleh : Nancy Novita
Salah satu tokoh berpengaruh Universitas Riau ini tengah menjabat sebagai Dekan FISIP UR untuk kedua kalinya. Namun siapa sangka, dibalik prestasi gemilangnya, Ali mempunyai kisah buram pada pendidikan, kisah yang justru membuatnya berambisi meningkatkan SDM di fakultas yang ia pimpin.
Kotalama, salah satu desa di pinggiran Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau adalah saksi lahirnya Ali Yusri pada 7 Agustus 50 tahun silam. Ia lahir tanpa sempat mengenal ayahnya yang meninggal sebelum kelahirannya. Namun itu pulalah yang menjadikan bungsu dari sepuluh bersaudara ini kuat dan terbiasa dengan kesederhanaan.
Menginjak Kelas 3 Sekolah Dasar (SD), Ali pindah dari lingkungan bertani di Kotalama menuju Pekanbaru. Disinilah ia menjalani lebih dari separuh perjalanan karir dan hidup. Pendidikan SD hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) ia tamatkan di Pekanbaru, mulai dari SD Negeri 33 Pekanbaru, SMP Muhammadiyah, hingga SMA SMPP 49. Kemudian ketertarikan pada dunia pemerintahan membawanya pada Jurusan Ilmu Pemerintahan (IP) UR.
Ali teguh untuk terus sekolah, untuk menamatkan pendidikan hingga jenjang tertinggi yang bisa ia capai, bahkan untuk terus berkarya dan melakukan apa yang ia suka dan impikan.
Politik, kecintaan sejak muda Sejak duduk di bangku SMA, Ali tertarik dengan ilmu politik. Pelajaran tentang kekuasaan dan ilmu-ilmu pemerintahan adalah hal yang sangat menarik baginya. ‘’Saya memang tertarik dengan Ilmu Pemerintahan. Sejak SMA saya menyenangi mata kuliah tentang kekuasaan dan pemerintahan,’’ ceritanya kepada Tekad.
Itulah yang membuat pria santun ini terus menempuh pendidikan pada jurusan-jurusan politik. Setamatnya dari IP UR pada tahun 1985, Ali melanjutkan pendidikan pada Ilmu Politik Univesitas Gadjah Mada (IP UGM) Jogjakarta hingga tamat pada Tahun 1990. ‘’Saya memang menyukai politik. Namun alur liniernya untuk saya seperti itu, pendalaman dari Ilmu Pemerintahan adalah Ilmu Politik,’’ tuturnya.
Setamatnya dari IP UR, Ali diangkat sebagai Asisten Dosen (Asdos) di jurusan tamatannya tersebut. Inilah awal yang menyadarkannya pada panggilan hidup di dunia pendidikan. ‘’Saya sempat jadi Asdos pada Juli 1985, lalu jadi dosen tetap pada Januari 1986. Begitu tamat, pilihan saya memang akademis. Ada minat disana dan saya seperti disiapkan untuk mengajar,’’ kenangnya.
Kecintaan pada politik dan akademis dilanjutkan Ali kembali dengan menempuh pendidikan Strata 3 pada Jurusan Ilmu Politik di universitas yang sama. Namun rugi tak dapat ditolak, semangat Ali justru harus kalah oleh sistematika universitas yang kurang bersahabat. Ketidaksepakatan antar penguji membuatnya kehilangan kesempatan untuk meraih gelar Doktor.
‘’Selama program studi itu berdiri memang ada kendala pada perbaikan destertasi. Saya korbannya. Saya sudah melalui ujian tertutup dan diluluskan oleh dua penguji. Tapi lima penguji lainnya minta diuji ulang. Saat jadwal ujian perbaikan ditetapkan, mereka malah tidak di tempat dan mengatakan ujian perbaikan tidak berlaku,’’ cerita Ali.
Ali sempat sangat kecewa. Ia merupakan korban terakhir dari mahasiswa seangkatannya, dua mahasiswa lainnya telah di-¬droup out (DO) dan hanya satu orang yang lulus. ‘’Ada empat tahapan untuk mendapat gelar Doktor, yakni tahap seleksi IPK, tahap kualifikasi, tahap ujian tertutup, dan tahap ujian terbuka. Dari kami yang hanya berempat, hanya satu yang lulus hingga tahap akhir,’’ terangnya.