PENANGANAN pasca-gempa bumi berkekuatan 7,6 Skala Richter (SR) yang melanda Sumatera Barat dan sekitarnya, hingga kini masih terus dilakukan. Gempa telah menimbulkan kerugian harta-benda bagi penduduk di kawasan berdampak langsung. Gempa juga menyebabkan hilangnya satu generasi yang menjadi korban tewas.
Saya sepakat dengan asumsi kalangan geolog. Gempa lebih dianggap sebagai fenomena alam, sehingga manusia seharusnya beradaptasi dengan alam tersebut. Apalagi, gempa sudah terjadi sejak bumi diciptakan oleh-NYA. Menurut geolog dari IAGI Rovicky Dwi Putrohari, gempa bukan bencana yang mematikan, bangunan yang buruklah yang membunuh manusia. “Earthquake did not kill people, the bad building did it”.
Tapi toh, apa pun dampak fenomena alam bagi manusia, maka sudah menjadi tanggung jawab siapa pun untuk mengatasinya. Hingga saat ini, tim kemanusiaan masih melakukan evakuasi korban, yang masih terperangkap di bagunan yang runtuh. Bantuan kemanusiaan terus mengalir, meski saat ini masih terjadi kendala teknis penyalurannya.
Masalahnya, gempa dipastikan akan berdampak pada psikologis anak-anak dan dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas mental sebagai dampak traumatis kejadian tersebut.
Musibah gempa akan menyebabkan terganggunya kejiwaan anak-anak atau yang biasa disebut dengan "Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), yang biasanya disebabkan kejadian luar biasa yang dialami seseorang dan tidak mampu diantisipasinya, seperti halnya gempa bumi yang belakangan ini sering terjadi di beberapa wilayah Indonesia seperti di Tasik Malaya Jawa Barat dan kemudian Padang Sumatera Barat.
Dampaknya bagi para korban, terutama pada anak-anak, mereka akan selalu teringat dengan peristiwa buruk yang telah dilaluinya, sering menangis dan yang lebih parah adalah sering bermimpi buruk dan jika terus menerus terjadi akan menyebabkan penurunan kualitas hidup mereka.
Salah satu efeknya adalah, anak akan malas belajar, malas bermain, malas makan dan tidak tertutup kemungkinan akan menyebabkan busung lapar hingga berujung pada kematian. Untuk itu, demi mencegah terjadinya traumatik yang berkepanjangan terutama pada anak, harus dilakukan penanganan secara terpadu dengan menurunkan tim psikolog.
Para psikolog juga dapat memberikan terapi kepada anak-anak, seperti misalnya melalui terapi bermain, menggambar, maupun dalam bentuk terapi-terapi lainnya yang tujuannya agar anak-anak lupa dengan peristiwa buruk yang pernah dialaminya.
Maka dari itu, Pemerintah RI harus lebih tanggap mengatasi masalah pasca-gempa, khususnya membantu pemulihan psikologis anak-anak. Sebagai calon pemimpin generasi di masa mendatang, anak-anak harus diberikan perlindungan dari negara, sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar.
Di saat penanganan psikologis berjalan, tentunya juga perlu dilakukan perbaikan infrastruktur pendidikan. Anak-anak korban gempa, tidak boleh putus sekolah. Jangan sampai mereka menjadi generasi marjinal di masa depan.
Salam Kompasiana!