WAJAH ceria dan canda ribuan anak-anak, hari ini sangat terasa di kawasan Ancol Jakarta. Ya, Kamis ini (23/7) adalah puncak Hari Anak Nasional, yang diselenggarakan di Taman Impian Jaya Ancol Jakarta. Mereka tampak antusias karena dimanjakan oleh hiburan dan permainan, yang jarang dialami. Para orang tua yang turut mengantar anak-anaknya pun turut terhibur senang. Sayang sekali, Pak Beye yang diharapkan datang di acara tersebut, untuk pertama kalinya, berhalangan hadir. FAHREZA AHMAD VIA CITIZEN IMAGES Ucak, 45 tahun, buruh tani asal Blangkejeren, Aceh Tenggara membelai anak tertuanya, Syahrial, 15 tahun, yang menderita Marasmus (gizi buruk). Tapi di tempat berbeda, suasana duka menyelimuti rumah Nanang Sumarna dan istrinya Ejeh di Sukabumi Jawa Barat. Situasi kontradiksi ini terjadi, karena anak mereka Sandi Rizki (5 tahun) meninggal dunia akibat menderita penyakit gizi buruk. Bad news untuk anak-anak? Bagi sebagian orang, mungkin ini adalah berita buruk di Hari Anak Nasional. Tapi bagi saya tidak. Berita gizi buruk bukanlah yang pertama kali terjadi di Tanah Air, dan sifatnya pun tak menghebohkan. Bahkan berita seperti ini jarang mendapat respon dari pemerintah maupun masyarakat. Dalam catatan saya, sedikitnya ada 360 berita terkait gizi buruk yang dilansir kompas.com dalam satu tahun terakhir. Lebih tegasnya, kasus ini di pemerintahan SBY-JK. Tampaknya, berita seperti ini belum cukup kuat sebagai kritik sosial pemerintah. Malah dalam beberapa pekan kemudian setelah tanggal 8 Mei 2009, kasus gizi buruk masih menjadi berita di NTB, Bekasi, Nangroe Aceh Darussalam, Mojokerto dan Jombang. Tulisan saya tanggal 25 Juni 2009 itu, juga kurang diminati bahan pembicaraan pemerintah di rapat-rapat kabinet. Tampaknya, SBY dan JK memang cukup sibuk dengan jadwal kampanye, sehingga menyerahkan masalah ini ke instansi terkait. Lantas apa yang bisa kita lakukan sebagai anggota masyarakat? Saya pribadi, tak mampu berbuat banyak, karena saya bukan pengusaha dan penguasa. Minimal, saya bisa mengingatkan tetangga di sekitar rumah, untuk selalu memperhatikan asupan gizi anak mereka. Malah, saya pernah berani menjewer kakak saya, yang membiarkan suaminya mengkonsumsi rokok, dan tak mempedulikan nasib anaknya. Saya berpendapat, para suami yang merokok adalah salah satu penyebab kemiskinan keluarga, yang pada akhirnya mengesampingkan kebutuhan gizi anak. Bahkan, ada survei yang membuktikan, bahwa para suami membelanjakan BLT yang diterima hanya untuk membeli rokok, daripada membeli kebutuhan pokok. Untuk itu, sudah saatnya semua elemen masyarakat diharapkan bertanggung jawab untuk merawat dan mempersiapkan anak-anak Indonesia yang akan mengemban tugas mulia di masa depan. Kepedulian ini saya yakini dapat berjalan, jika penguatan-penguatan sosial berlangsung secara simultan. Ini artinya, kasus gizi buruk sebenarnya dapat ditangani oleh masyarakat secara swadaya, asalkan ada fungsi kontrol sosial di tempat tersebut. Untuk saat ini, sulit sekali mengharapkan bantuan pemerintah secara cepat. Namun demikian, untuk jangka panjang, pemerintah tentu bertanggung jawab atas kondisi bangsa ini. Pemerintah tak boleh membiarkan kasus ini menjadi kasus tersembunyi (atau disembunyikan?), karena bisa jadi, akan menjadi 'bom waktu' masalah kemiskinan. Sebagai pentutup, saya ingin menyampaikan, "Selamat Hari Anak, Indonesiaku. Semoga ada perubahan di masa mendatang". (Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H