Mohon tunggu...
Nancy Samola
Nancy Samola Mohon Tunggu... -

Perempuan biasa, pernah punya cita-cita jadi jurnalis, lantaran hobi menghayal dan suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesetiaan Mahasiswa Setia

29 Oktober 2009   12:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:30 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

USAI bangun tidur pagi tadi, saya langsung menonton berita televisi. Ini bukan kebiasaan yang rutin. Karena biasanya, saya selalu jogging pagi ke seputaran rumah, sebelum mencicipi menu sarapan pagi saya, pisang goreng, teh manis hangat dan kompas.com. Aha, ini dia! Berita di SCTV itu judulnya "Mahasiswa Setia Peringati Sumpah Pemuda". [Bisa juga meng-klik ini untuk menonton videonya]. Saya pun men-search kompas.com dan akhirnya mata saya tertuju pada judul "Makna Sumpah Pemuda bagi Mahasiswa Setia". Sedih membacanya. Dan hati saya pun, bergejolak. Kasus ini bermula ketika adanya aksi-pengusiran warga terhadap mahasiswa Sekolah Tinggi Theologi Injili Arastamar (Setia), sekaligus penutupan paksa kampus dan asrama mereka di Kampung Pulo, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, pada 27 Juli 2008. Sejak saat itu, ribuan mahasiswa bertahan hidup dan proses belajar yang tak menentu, mulai dari Bumi Perkemahan Cibubur, MPR/DPR, dan terakhir ini juga tak jelas nasib mereka, di bekas Kantor Walikota Jakarta Barat. Sengaja saya ingin berbagi inspirasi untuk teman-teman Kompasiana, tentang di balik makna Sumpah Pemuda yang sesungguhnya. Meski saya bukan ahli sejarah, dan bukan pula pemegang kekuasaan yang mampu mengubah sejarah, bisa jadi benar, bahwa perjuangan yang dialami anak muda era 1928 mirip dengan perjuangan mahasiswa Kampus Setia. Sumpah Pemuda 1928 Sumpah Pemuda lahir dari sebuah pertemuan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia atau (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Salah satu agenda penting dalam pertemuan itu, yakni membahas masalah pendidikan. Para pemuda sepakat, bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis. Sumpah Pemuda ditulis oleh Moehammad Yamin, dan dipekikkan oleh puluhan anak muda pilihan daerah. Sumpah Pemuda 2009 Meski dalam nuansa semangat anak muda, tapi Upacara Sumpah Pemuda khususnya bagi mahasiswa Setia kali ini, dalam kondisi ironi. Seribu mahasiswa Setia menggelar upacara dengan sederhana, tanpa alunan musik dan tanpa santap siang ala istana. Kesamaan Sumpah Pemuda 1928 dan 2009 Upacara Sumpah Pemuda mahasiswa dan dosen Setia, berjalan dengan khidmat. Para mahasiswa tampak seolah melupakan sejenak mengungsi di negeri sendiri. Teks Sumpah Pemuda diucapkan dengan penuh lantang oleh mahasiswa yang hampir mewakili semua daerah di Indonesia. Peserta Sumpah Pemuda 1928, berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan Kaum Betawi. Berikut ini teks Sumpah Pemuda:

Pertama, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kedua, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga, Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Nah, pembacaan teks Sumpah Pemuda oleh mahasiswa Setia itu, juga berasal dari seluruh pelosok Tanah Air, di antaranya Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Sumatera, Papua, dan NTT. Setidaknya, semangat kebersamaan dan rasa nasionalisme tercipta di antara mereka. Sama persis ketika tahun 1928. Inilah yang saya salut. Mahasiswa Setia tetap bertahan dalam kesetiaan mereka pada NKRI. Keteguhan sikap mereka tetap bertahan dalam institusi pendidikan, telah menyamai sikap abdi negara untuk menjunjung nilai Pancasila dan UUD 1945. Bahkan, sebagian dari mereka berkomitmen untuk pulang kampung membangun daerah asal, setelah lulus nanti. Lantas, bagaimana dengan kelanjutan kasus Setia? Apa respon pemerintah, dan solusi permanen seperti apa yang ditawarkan? Entahlah, tapi saya berpikir positif saja. Mungkin, jawabannya masih dirahasiakan. Saya cuma bisa berdoa dan berharap, agar Pak Presiden kiranya mempunyai pilitical will dalam kasus ini. Tentunya saya percaya, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Pak Beye dapat memerintahkan aparaturnya semisal Wakil Gubernur Jakarta Prijanto, untuk menetapkan lokasi kampus yang dijanjikan tahun lalu. Usai menulis ini saya juga berdoa, semoga Tuhan membukakan pintu hati warga Pinang Ranti Jakarta Timur, agar kembali menerima para mahasiswa Setia untuk belajar menuntut ilmu. Semoga. Salam Kompasiana !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun