Minggu pagi, baru-baru ini. Mumpung lampu merah sedang menyala, saya menurunkan kaca mobil. "Pak, Pak, Kompas."
Seorang penjaja koran datang mendekat. Dengan sigap ia menyerahkan koran yang saya minta.
Anak saya langsung merebut Kompas di tangan saya. Cepat-cepat ia membuka halaman demi halaman.
"Cari apa? Kompas Anak?"
Ia mengangguk.
"Kan sudah tidak ada." Ya, Kompas Anak yang biasanya disisipkan dalam Kompas edisi Minggu, terakhir terbit tanggal 28 Februari yang silam. Karena saking semangat, anak saya lupa kalau Kompas Anak tidak ada lagi.
Sontak, anak saya protes, "Orang dewasa enggak peduli sama anak-anak." Dan ia pun cemberut..
Saya tersenyum kecut mendengar kesimpulannya. Pengambil keputusan penutupan Kompas Anak tentu orang dewasa. Apakah anak-anak sebagai target pembaca utama Kompas Anak pernah ditanyai pendapat tentang peran koran itu bagi mereka, kemungkinan besar, tidak. Kalau pun ditanya, mungkin loyalitas mereka tidak cukup kuat menandingi hasil hitungan bisnis.
Kompas Anak bukan media cetak pertama untuk anak yang ditutup. Sudah banyak media cetak anak lainnya yang tumbang terlebih dulu.
Apakah karena media anak minim iklan sehingga biaya produksi tinggi dikarenakan pemasangan iklan di media online daya jangkaunya kepada konsumen lebih cepat dan lebih luas?
Atau, karena jumlah pembeli semakin menurun lantaran kegiatan membeli media cetak anak tidak masuk daftar prioritas orangtua?
Apakah mungkin karena jumlah pembeli (pembaca)nya semakin menurun? Seperti kata seorang teman memberi alasan ia tidak mau membeli buku cetak, "Anak-anakku sekarang lebih suka baca e-book."
Apa pun penyebabnya, saya hanya berharap, semoga Kompas Anak bisa dihidupkan kembali. O, iya, tulisan ini saya muat sebagai pemenuhan janji saya kepada anak, menyampaikan protesnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H