The Kite Runner adalah film yang diangkat dari novel karya Khaled Hosseini berjudul sama. Khaled Hosseini dilahirkan di Afganistan. Saat Khaled berusia 8 tahun, ia dan keluarganya terpaksa mengungsi ke Paris lantaran Zahir Shah, raja Afganistan yang sah, dikudeta. Setelah itu, mereka tidak bisa kembali ke Afganistan karena Rusia mengadakan invasi ke negara mereka.
Meskipun masalah diskriminasi gender bukanlah tema dari film tersebut, adegan penghukuman terhadap seorang perempuan dan seorang laki-laki yang berzina-lah, yang membuat saya menulis artikel ini.
Sekelompok prajurit membawa mereka ke stadion sepakbola yang semua penontonnya adalah laki-laki. Sepasang kekasih yang bersalah itu dibawa ke tengah lapangan. Masing-masing diikat tangannya dan ditutup kain kepalanya. Kemudian, pemimpin pasukan membagikan batu di antara para prajurit. Setelah kata pengantar selesai diucapkan, serentak mereka melempari sang perempuan dengan batu sampai mati.
Bagaimana nasib si laki-laki? Proses penghukuman yang sama tidak diperlihatkan. Si laki-laki tidak dilempari batu. Satu-satunya petunjuk yang saya dapat —semoga saya tidak salah lihat—, saat jazad perempuan dilemparkan ke dalam bak jeep, di dalamnya tergeletak jazad lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat, hal. 1571, zina adalah 1 perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan; 2 perbuatan bersanggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dng seorang perempuan yg bukan istrinya, atau seorang perempuan yg terikat perkawinan dng seorang laki-laki yg bukan suaminya.
Berdasarkan definisi tersebut, hubungan seks di luar nikah adalah perbuatan zina. Begitu pula perselingkuhan, apalagi yang sudah melibatkan hubungan seks.
Seks di luar nikah dan perzinaan tidak dapat dibenarkan. Namun, kita tidak bebas dari kesalahan jika hanya mengenakan sanksi pada salah satu pihak, tepatnya pihak perempuan. Zina melibatkan dua pihak, yaitu laki-laki dan perempuan. It takes two to tango. Maka, kedua belah pihak yang terlibat, sama-sama bersalah, tidak peduli siapa yang memulai.
Ketika kita dihadapkan pada sebuah persoalan perzinaan, pihak perempuan hampir selalu jadi "the bad one". Perempuanlah yang dituding dan dihujat sebagai penggoda, penyesat, perusak iman laki-laki. “Dasar wanita jalang. Goda-godain suami orang,” adalah salah satu contoh komentar yang kerap dilontarkan. Bagaimana dengan si laki-laki? Jika ada perempuan yang menggoda, lalu ia meladeni, bukankah itu menandakan ia gagal mengendalikan hawa nafsunya? Kalau si laki-laki punya pendirian yang teguh, tidak mungkinkah si perempuan akan mundur?
Satu hal lagi, kebanyakan dari kita cenderung punya kebiasaan menghakimi orang lain, padahal kita pun tidak bebas dari dosa (yang kasat mata ataupun tertutup rapat) seperti halnya salah satu prajurit yang melempari si perempuan dengan batu. Saat ia remaja, ia pernah memerkosa seorang bocah laki-laki. Saat ia dewasa, ia sering mengambil bocah perempuan dari panti asuhan untuk dipaksa melakukan hubungan seks dengannya dan melakukan kejahatan seksual lainnya terhadap bocah laki-laki.
Saya jadi teringat kalimat ini, ‘”Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”’ (Yohanes 8:7b)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H