Mohon tunggu...
Nancy Duma
Nancy Duma Mohon Tunggu... karyawan swasta -

born in north sumatra

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendidik Asyik Lewat Tulisan

19 November 2014   12:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:26 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Freedom Writers. Film Freedom Writers diangkat dari kisah nyata seorang guru bernama Erin Gruwell. Kala itu, ia baru pertama kali bekerja sebagai guru. Ia mendapat murid-murid “buangan”; murid-murid yang dianggap paling bodoh, murid-murid yang bermasalah. Ada yang berasal dari keluarga berantakan, ada yang jadi anggota geng, ada pula yang terlibat dalam jaringan penjual narkotiba, dan sebagainya.

Erin Gruwell mulai mengajar dengan cara-cara konvensional. Murid-muridnya tidak menyambut materi pelajaran yang ia sampaikan. Mereka tidak suka membaca dan menulis. Bahkan, mereka berkali-kali mengatakan, “Semua yang kami pelajari ini tidak ada gunanya untuk hidup kami.”

Sang guru tidak patah semangat. Ia ingin murid-muridnya mengenyam pendidikan agar kehidupan mereka berubah menjadi lebih baik. Maka, ia berhenti mengajar dengan cara lama. Ia meminta murid-muridnya membaca novel-novel pilihannya. Novel-novel tersebut berkisah tentang remaja-remaja yang tegar menghadapi kesulitan mereka dan pada akhirnya meraih kehidupan yang lebih baik.

Tak berhenti di situ, Erin meminta murid-muridnya menulis buku harian. Erin berpandangan, dengan menulis di buku harian, masing-masing anak didiknya memiliki tempat untuk menumpahkan emosidan pikiran mengenai kehidupan mereka yang sulit.

Usaha Erin tidak sia-sia. Akhirnya, murid-muridnya termotivasi untuk bangkit mengubah nasib mereka.

Menggurui vs Menceritakan

Perubahan zaman merambah ke segala aspek kehidupan kita. Kita menghadapi berbagai tantangan. Beberapa di antaranya berkaitan dengan pola pengasuhan, pergaulan, sistem pendidikan, dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Internet, misalnya, memudahkan kita mencari informasi dan berkomunikasi. Namun, internet bukanlah teknologi bebas dampak negatif, terlebih terhadap anak-anak sekolah. Mereka rentan “tersesat” di dunia maya: menemukan informasi yang salah dan bertemu dengan orang yang salah.

“Anak-anak, kalian harus berhati-hati berkenalan dengan orang asing di Facebook karena berbahaya.”

“Jangan suka marah-marah di Facebook.”

Atau, “Jangan buka situs-situs porno, ya!”

Rasanya, cara mendidik sarat wejangan lisan seperti contoh di atas, tidak cocok lagi diterapkan kepada anak-anak masa kini, apalagi kepada anak didik yang sudah remaja atau dewasa muda. Alih-alih menyimak, mereka justru akan memberontak karena merasa digurui.

Selain itu, perubahan zaman turut menyuburkan kebiasaan berkomunikasi dengan tulisan. Anak lebih sering berkomunikasi lewat TIK daripada berkomunikasi langsung karena perbedaan ruang dan waktu. Oleh sebab itu, tak dapat dipungkiri, kini, tulisan menjadi cara berkomunikasi yang lebih dominan daripada komunikasi lisan.

Erin, sang guru dalam Freedom Writers, menyadari hal itu. Itu sebabnya, ia meminta murid-muridnya membaca novel yang isinya tidak jauh dari kehidupan mereka. Erin tidak menggurui. Ia membiarkan tokoh-tokoh dalam novel yang bercerita kepada murid-muridnya.

Kita patut bersyukur, dunia kepenulisan Indonesia berkembang pesat. Ada banyak novel yang bisa kita tawarkan kepada anak-anak remaja untuk dibaca; novel-novel yang berkaitan dengan tantangan-tantangan yang mereka hadapi di masa kini. Foolove karya Teera berkisah tentang dampak Facebook terhadap kehidupan remaja. Dark Love karya Ken Terate menceritakan tentang dampak seks di luar nikah. Unfriend You karya Dyah Rinni menyoroti perilaku bullying di kalangan remaja.

Guru yang Menulis adalah Inspirasi

Guru dapat menyeleksi dan menggunakan novel-novel yang terpilih sebagai bahan bacaan anak didik. Namun, meminta sekolah membeli buku di luar buku pelajaran, tentu tidak mudah. Begitu pula, meminta murid-murid membeli dengan biaya sendiri. Kalau begitu, apa yang harus guru lakukan?

Guru perlu bisa menulis agar dapat mengedukasi murid-murid dengan cara asyik melalui tulisannya sendiri. Tidak harus berupa cerita yang panjangnya berlembar-lembar seperti novel. Guru bisa menulis puisi, cerita pendek atau bahkan cerita refleksi dengan berbagai tema.

Karya-karya tersebut bisa guru kumpulkan di sebuah blog, misalnya, sehingga anak-anak didik dapat membacanya kapan saja mereka mau.

Dengan menulis, guru juga mengasah keterampilannya berbahasa tulisan. Dengan keterampilan tersebut, guru bisa mengikuti beraneka macam lomba menulis di blog. Jika tulisan guru bermutu dan berhasil menang, tentu murid-murid akan terinspirasi untuk ikut berprestasi dengan mengembangkan bakat dan minat mereka masing-masing.

Seperti pada ilustrasi di atas, Erin meminta murid-muridnya menulis untuk membebaskan pikiran dan hati mereka dari segala tekanan. Guru juga dapat menggunakan kegiatan menulis sebagai salah satu sarana melepaskan diri dari perasaan dan pikiran negatif.

Dengan menulis, pengetahuan guru juga bertambah. Sebab, seorang penulis yang baik juga membaca banyak buku agar pengetahuan dan wawasannya makin bertambah.

Pengetahuan dan wawasan yang bertambah, tentu akan berdampak baik terhadap tulisan guru. Tulisan menjadi bermutu dan bertenaga. Guru mampu menuliskan hasil pemikirannyasendiri dan menjauhkan diri dari plagiarisme.

Perilaku baik tersebut tentu juga akan menginspirasi anak didik. Mereka jadi gemar membacadan ikut berpandangan bahwa berkarya atas usaha sendiri jauh lebih mulia daripada menjiplak karya orang lain.

Tanoto Foundation dan Pendidikan

Tanoto Foundation didirikan untuk menanggulangi kemiskinan. Para pendiri Tanoto Foundation melihat bahwa salah satu akar kemiskinan adalah ketiadaan atau minimnya pendidikan. Oleh sebab itu, Tanoto Foundation melakukan banyak inovasi di bidang pendidikan, antara lain dengan membangun gedung-gedung sekolah, memberikan beasiswa pendidikan dan menerapkan program Peningkatan Kualitas Sekolah.

Program Peningkatan Kualitas Sekolah sendiri bertujuan, “memfokuskan pada pemberdayaan pengajar, penguatan lembaga pendidikan, dan perbaikan lingkungan fisik dan intelektual di sekolah.”

Tanoto Foundation menyadari peranan penting guru dalam menciptakan proses pendidikan yang bermutu. Guru harus jadi tenaga pengajar yang handal. Salah satu caranya adalah dengan mengajak guru untuk menulis karena menulis itu penting.

Yuk, Ibu dan Bapak Guru, kita menulis! Mendidik lewat tulisan, asyik, lho!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun