Gedung Jusuf Anwar, bangunan yang sudah lanjut usia tapi masih memiliki bentuk yang kokoh  dengan arsitektur khas peninggalan zaman Hindia Belanda. Apa yang menarik dan membedakan gedung ini dengan gedung tua yang lain?
Gedung ini didirikan atas prakarsa oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels, pada tanggal 7 Maret 1809 yang semula bertujuan untuk memindahkan Istana Batavia yang berlokasi di muara Sungai Ciliwung (sekarang daerah Kota Tua) karena mulai kumuh dan banyak orang terkena penyakit kolera dan malaria yang menyebar dan mematikan ke wilayah pusat ibu kota baru Weltevreden (sekarang Lapangan Banteng dan sekitarnya).
Gubernur Jenderal H.W. Daendels membangun istana tempat tinggal dan sekaligus pusat pemerintahan. Istana tersebut diberi nama De Witte Huis (Gedung Putih) atau Grote Huis (Rumah Besar).
Gubernur Jenderal Daendels tidak hanya sekedar memindahkan Batavia ke New Batavia tapi juga dengan konsepnya berbeda. Di Batavia sistemnya zonasi, dari ada kota Pecinan, orang Arab, dan sebagainya. Di Weltevreden terpusat, artinya ada pusat pemerintahan atau konsentrik, tersentra, ada fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Gedung Yusuf Anwar ini adalah fungsi yudikatif tersebut. Gedung ini merupakan bagian dari bangunan induk Istana. Pembangunannya selesai pada tahun 1828 pada masa Du Bus.
Pada waktu itu, gedung ini merupakan pusat Pengadilan Tinggi setingkat Mahkamah Agung. Di dalam bangunan ini terdapat ruang sidang, ruang tahanan, ruang untuk menerima tamu-tamu dan aula tempat pertemuan rahasia.
Setelah Indonesia merdeka, gedung ini pun digunakan sebagai Mahkamah Agung yang melaksanakan perannya untuk persidangan-persidangan naik banding dan sebagainya. Pada tahun 1986, dengan adanya berbagai transformasi kelembagaan peran yang semakin kompleks, kemudian ada inisiatif untuk memperluas kantornya sendiri.