Mohon tunggu...
Anas Isnaeni
Anas Isnaeni Mohon Tunggu... Administrasi - -ASN DJPb Kemenkeu-Alumni STAN 2010-Alumni Universitas Brawijaya 2019-

Seorang pembelajar kehidupan dan perekam momen-momen yang ada di dalamnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Deraan Hati untuk Mengalah

28 Maret 2011   11:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:21 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Biarkanlah diri ini kalah dan menjadi bagian yang teronggok dan tersingkirkan. Biarkan perih itu menyayat dan mengiris hati. Biarkan semuanya berlalu walau perih itu tak’kan menjadi terlupa begitu saja. Deklarasikan diri ini kalah agar kemudian ada kekuatan untuk berpasrah.”

Hati adalah tempat di mana berkumpul berbagai macam perasaan. Ia merupakan muara dari segala macam rasa yang bisa jadi saling bertentangan antara satu sama lain. Mereka memadu menjadi satu dan berkumpul di suatu ruang bernama hati. Hati, suatu karunia yang diberikan oleh Sang Maha Kasih pada manusia agar bisa merasai kehidupan ini. Tanpanya tiada rasa dalam kehidupan ini dan yang mungkin akan terjadi dunia berada dalam ketidaksetimbangan yang nyata, berada dalam suatu kehampaan tanpa makna, berada dalam monotonitas yang menjemukan.

Namun terasa begitu susah untuk mempunyai hati. Dengan berbagai macam rasa yang seringkali berkecamuk di dalamnya, membuat diri ini dalam keterombang-ambingan yang nyata. Perasaan itu saling beradu satu sama lain, saling berlomba untuk menjadi penguasa hati, saling memperebutkan posisi untuk mempengaruhi diri.

Pertarungan itu begitu melelahkan. Hati yang lelah berimbas pada bagian tubuh yang lain dengan sendirinya. Karena hati adalah raja bagi jiwa dan raga manusia, kelelahan itu merambat ke sekujur penjuru relung-relung diri yang ada.

Begitulah hati dengan monolog internalnya. Bisa diumpamakan dia adalah sebuah barang yang begitu berharga, namun perlu sangat amat dijaga karena kerentanannya untuk menjadi rusak. Kelelahan yang begitu sangat menderanya inilah yang dapat membuatnya menjadi rentan rusak.

Deraan akan muncul saat hidup berada pada fragmen yang begitu menyakitkan diri. Saat ekspektasi timpang jauh dengan realita yang ada. Saat manusia menyadari bahwa apa yang ia hadapi adalah sesuatu yang tak ingin ia pernah jua rasakan. Namun, hidup ini bukanlah kuasanya untuk mengatur fragmen apa yang diinginkan, hidup itu ada untuk dijalani dengan skenario yang telah ditentukan oleh Sang Maha Perencana.

Maka pertarungan itu pun dimulai. Dua sisi pertentangan rasa akan saling bertarung dalam menentukan sikap apa yang diri akan ambil. Yang satu positif, yang satu negatif. Pertarungan ini tidak hanya dalam diri saja, yang menjadikan masalah begitu runyam saat ada pihak lain yang turut ikut campur, saat perseteruan mewujud dalam ranah realita.

Perseteruan itu seringnya menjadikan diri luput dalam kondisi membenarkan diri. Satu sisi rasa dalam hati begitu berteriak dengan lancangnya bahwa diri ini adalah benar dan menyalahkan orang lain. Apakah rasa ini rasa yang bisa dikategorikan dalam rasa yang positif ataukah negatif?

Maka, ada sepenggal rasa minor yang kemudian muncul di tengah-tengah dominasi ego yang menggebu-gebu. Rasa itu menyatakan bahwa tak perlu perseteruan ini muncul, kenapa tidak ambil jalan yang tidak akan menjadikan diri mengeluarkan energi berlebih yang belum tentu jua hasilnya?

Akal pun menyakinkan rasa ini. Akal akan memberikan logika tentang perseteruan ini. Dia memberikan penjelasan akan adanya kemungkinan selesainya persoalan ini dengan tuntas, tetapi menimbulkan luka yang tak berperi pada pihak lain; atau justru tidak selesainya persoalan ini dengan tuntas dan menimbulkan luka. Dua opsi itu sama, akan membuat luka di pihak yang berseteru dengan diri. Begitu kecil kemungkinan selesainya persoalan dengan apa yang disebut akhir yang bahagia.

Inilah saatnya untuk mengalah. Inilah saatnya untuk menyalahkan diri yang menjadi lebih penting. Inilah yang menjadi jelas-jelas rasa yang negatif untuk sekadar meluapkan emosi dan ia perlu disingkirkan.

Biarkan diri saja yang terluka, tanpa perlu orang lain merasakan luka dan malah menjadikan segalanya lebih runyam. Karena diri mempunyai daya fleksibilitas dan ini yang mampu menjadikan diri lebih bijak dalam bersikap. Mengalah bukan untuk menjadi pecundang dengan kekalahannya, tetapi mengalah untuk menjadi lebih arif dalam menghadapi pertarungan batin dan perseteruan pendapat.

Luka itu ada dan mungkin saja memang membekas dan sulit untuk dilupakan. Tetapi itu akan menjadi lebih baik daripada menjadikan hati yang lain meluka dan bekasnya tak diketahui oleh diri. Persoalannya adalah pada diri, bagaimana diri untuk mengetahui sejauh mana keterlibatannya dalam perseteruan ini dan menyadari kesalahan yang ada serta apa yang bisa dilakukan untuk mengobati luka dalam hati ini. Kalaupun masih saja ia membekas, jadikan ia adalah suatu hikmah yang menjadikan diri tak’kan mau lagi mengulangi kesalahan yang sama dan menghindari setiap pemicu yang menjadi pratanda dimungkinkannya perseteruan yang serupa.

Muara dari penyikapan ini adalah kepasrahan. Pasrah pada ketentuan-Nya. Karena diri sudah berusaha menyikapi dengan semampu mungkin dalam perseteruan ini, walau mungkin belum sebegitunya optimal. Segala imbas dari opsi yang baik disengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan harus diterima konsekuensinya. Entah itu opsi dalam meluapkan rasa yang negatif, rasa yang positif, atau diam untuk mengalah. Suatu tindakan yang telah dilakukan akan disertai reaksi akan tindakan tersebut selanjutnya. Reaksi inilah yang harus dipertanggungjawabkan karena diri telah memilih.

Hati ini memang mendera saat opsi mengalah yang dipilih. Bagaimana pun rasa untuk mengalah adalah rasa yang tidak menyenangkan. Namun, inilah yang mungkin menjadi pilihan terbaik. Pilihan terbaik saat diri berada dalam pertarungan batin (entah juga turut disertai perseteruan dengan pihak lain atau tidak).

Diri ini akan menghela nafas sejenak dan berkata, “aku kalah”. Ya, kalah dalam meyakinkan apa yang dianggap baik oleh diri dan ditolak oleh orang lain, atau sebaliknya, apa yang dianggap jelek oleh diri malah diterima oleh orang lain. Biarkan mereka seperti itu saat konklusi yang sudah jelas tidak memberikan harapan bagi mereka untuk berubah. Mungkin benar adanya kebenaran itu sangat relatif. Tetapi biarkan aku dengan pendapatku sendiri dan terserahlah orang lain jika ia masih bersikukuh dengan kontra pendapatnya itu.

Ini bukan sesuatu yang mudah bagiku untuk mengalah saat hati begitu mendera luka....

Cawang, 7 Januari 2010, 23.41

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun