Mohon tunggu...
nana tyasss
nana tyasss Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Essai

27 Juli 2024   10:40 Diperbarui: 27 Juli 2024   10:44 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“ UPAYA MENINGKATKAN PELAYANAN KESEHATAN PADA TUBERKULOSIS PARU” Tuberkulosis saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun internasional sehingga menjadi salah satu tujuan pembangunan kesehatan berkelanjutan. Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.(1) Jumlah kematian akibat TB pada tahun 2019 sebesar 1,4 juta. Secara global kematian akibat TB per tahun menurun, pencapaian penurunan jumlah kematian tahun 2015 – 2019 baru 14%, tetapi tidak mencapai target sebesar 35%(2) dan merupakan salah satu dari 10 penyebab utama kematian di seluruh dunia (Indonesia, 2020). 

Secara global, diperkirakan 10 juta orang menderita TB pada tahun 2019. Meskipun terjadi penurunan kasus baru TB, Pada tahun 2015 – 2019 hanya terjadi penurunan kasus TB sebesar 9%, tetapi tidak cukup cepat untuk mencapai target penurunan kasus yaitu sebesar 20%. Indonesia berada pada peringkat ke-2 dengan penderita TB tertinggi di dunia setelah India (Report, 2020). Di Indonesia Pada tahun 2020 jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan sebanyak 351.936 kasus, menurun bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2019 yaitu sebesar 568.987 kasus. Jumlah kasus tertinggi dilaporkan dari provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di ketiga provinsi tersebut hampir mencapai setengah dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di Indonesia (46%). Jika dibandingkan dari jenis kelamin, jumlah kasus laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan secara nasional maupun pada setiap provinsi (Indonesia, 2020). Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada faktor risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat (Dinkes, 2019).

Masalah utama Tuberculosis saat ini adalah tingginya angka prevalensi dan rendahnya angka kepatuhan pasien terhadap pencegahan penularan Tuberkulosis yang berdampak pada peningkatan kejadian Tuberculosis. Masalah ini diperberat dengan adanya factor risiko seperti kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku hidup bersih dan sehat serta rendahnya status gizi penderita TB (Sulidah 2021).

Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) merupakan upaya pengobatan rekomendasi dari WHO sebagai pengendalian penyakit tuberkulosis paru (6). Upaya pengobatan DOTS terbukti cukup tercapai dalam mengendalikan kematian akibat TB pada beberapa negara. Pengobatan TB sendiri perlu untuk dilakukan secara rutin dalam jangka waktu enam bulan. Apabila pengobatan terputus dan tidak sesuai DOTS bisa menyebabkan penyakit kambuh dan menyebabkan bakteri TB menjadi resisten atau Multi Drug Resistance (MDR) (7). MDR merupakan bakteri TB yang tidak merespon dengan 2 obat TB lini pertama yang paling efektif. MDR Tuberkulosis bisa diobati menggunakan variasi obat lini kedua, akan tetapi obat lini kedua adanya terbatas dan memerlukan waktu pengobatan yang lebih lama dari pertama yaitu dengan jangka waktu minimal 9 bulan hingga 20 bulan. Disisi lain obat pada Lin kedua ini lebih mahal dan dosisnya lebih tinggi dari pada lini pertama

perlunya kepatuhan yang baik terhadap pengobatan TBC telah diakui dan ditekankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang dikenal dengan strategi pengobatan jangka pendek yang diamati secara langsung (DOTS) (Yani et al., 2022; Andri et al., 2020; WHO, 2017).Angka berhenti yang tinggi, motivasi yang rendah, pengobatan yang tidak memadai dan munculnya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis masih menjadi kendala dalam pengobatan tuberkulosis paru (TB). Stigma diskriminasi terhadap penderita tuberkulosis paru menghambat upaya pemberantasan penyakit mematikan ini (WHO, 2019).Menurut Kementerian Kesehatan RI, Tuberkulosis (TB) di Indonesia akan menempati urutan ketiga setelah India dan China pada tahun 2022 dengan 82.000 kasus dan 93.000 kematian per tahun, 11 kematian per jam. Sekitar 8 n52 nm telah dilaporkan dalam menyajikan dan merawat pasien tuberkulosis (TB) paru dan terdaftar dalam sistem data nasional. Data deteksi dan pengobatan tuberkulosis (TB) berasal dari bulan September, ketika 39% kasus untuk mendeteksi dan mengobati tuberkulosis (90% dari target 1 tahun), tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TB) adalah 7% (90% dari target). dicapai dalam satu tahun). Peningkatan pengobatan tuberkulosis (TB) memerlukan inovasi dan pengembangan pelayanan kesehatan, termasuk teknologi informasi, seperti perencanaan pemulangan elektronik, yang dapat meningkatkan efektivitas pengobatan dan meningkatkan kualitas pelayanan. Kehidupan pasien tuberkulosis

Perilaku mencari perawatan kesehatan pada pasien TB paru dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor individu, klinis dan sistem kesehatan. Jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan, kurangnya pelayanan TB paru di fasilitas kesehatan primer, kurang pengetahuan, menganggap gejala tidak parah, dan berobat tradisional merupakan hal yang mendukung keterlambatan pasien dalam diagnosis TB paru sehingga diperlukan perluasan layanan TB paru di fasilitas pelayanan kesehatan primer, layanan skrining keliling ke desa serta kegiatan promosi kesehatan agar terjadi peningkatan deteksi kasus dini (Getnet et al., 2019). Health Belief Model (HBM) memprediksi persepsi atau alasan individu ketika melakukan tindakan untuk mencegah atau mengendalikan kondisi penyakit, termasuk kerentanan, keseriusan, manfaat dan hambatan suatu perilaku, isyarat dalam mengambil tindakan serta keunggulan diri. Penderita TB paru harus memiliki keyakinan dalam health seeking behavior agar mendapatkan tingkat sejahtera yang maksimal.

Kepatuhan pengobatan didukung oleh jarak yang dekat mencapai fasilitas kesehatan dan komunikasi yang baik serta sikap positif dari penyedia layanan kesehatan terhadap pasien. Diperlukan juga untuk kepatuhan pengobatan yang lebih baik seperti pendidikan kesehatan yang komprehensif di tempat pengobatan, anggota keluarga pasien dan masyarakat pada umumnya serta struktur dukungan sosial yang kuat (Gebreweld et al., 2018). Keterlambatan health seeking behavior pada penderita TB paru disebabkan oleh pekerjaan, pengetahuan terbatas, fasilitas kesehatan yang dikunjungi pertama kali, lebih dahulu berobat secara tradisional, masalah keuangan, tingkat keparahan penyakit yang diderita (Alema et al., 2019). Beban tinggi yang dimiliki oleh negara berpenghasilan rendah dan menengah menyebabkan penundaan pasien dan sistem kesehatan yang berdampak terhadap keterlambatan diagnosis sehingga memungkinkan strategi dan upaya yang sedang dilakukan tidak memiliki efek terhadap jumlah kasus TB paru baru, deteksi serta pengobatan yang tepat. Keterlambatan diagnosis dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan pasien dan penyedia serta sistem kesehatan. Keterlambatan pasien didasarkan pada tidak mengenal huruf dan inisiatif untuk mencari perawatan dan pengobatan secara tradisional. Perawatan awal untuk TB paru yang dipilih oleh sebagian besar penderita TB paru seperti fasilitas kesehatan swasta, pengobatan tradisional dan petugas kesehatan tingkat rendah sehingga diperlukan pihak yang berpotensi meningkatkan strategi penemuan kasus dengan melakukan pencarian dan deteksi awal perawatan untuk dapat meningkatkan kesadaran masyarakat yang kuat secara berkelanjutan (Getnet et al., 2017).

Pemerintah bertekad untuk mencapai Eliminasi TBC tahun 2030 dengan target angka penemuan kasus (Case Detection Rate/CDR) di tahun 2020 sebesar 80%.Untuk Mencapai target penemuan dan pengobatan kasus TBC diperlukan sumber daya ditunjang adanya partisipasi atau pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat diperlukan untuk dapat meningkatkan keberhasilan dalam penanggulangan tuberkulosis paru di suatu wilayah melalui kader, tokoh masyarakat serta organisasi kemasyarakatan yang peduli terhadap tuberkulosis. Tujuan utama pemberdayaan masyarakat adalah mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat dan mengorganisir diri masyarakat. Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan yang berkaitan dengan tuberkulosis. Individu, keluarga, kelompok dan masyarakat diedukasi untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam memutus mata rantai penularan tuberkulosis paru, melalui kegiatan pelatihan serta upaya lain untuk pengembangan kemampuan dan keterampilan tentang tuberkulosis paru untuk mewujudkan eliminasi tuberkulosis tahun 2030

Tujuan dari kajian pustaka untuk memahami terkait faktor-faktor yang berpengaruh dalam kepatuhan penderita minum obat anti tuberkulosis (OAT). Sehingga diharapkan bisa bermanfaat baik bagi pasien, keluarga, petugas kesehatan, masyarakat, dan stakeholder pada bidangnya agar bisa menjadi bahan referensi untuk dilakukan perbaikan - perbaikan sebagaimana mestinya, untuk menciptakan upaya - upaya dalam meningkatkan kepatuhan pasien meminum OAT yang bisa melibatkan seluruh elemen masyarakat sehingga angka TB bisa terkendalikan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun