Pada suatu kesempatan, saya melakukan observasi dan kunjungan ke sekolah dasar untuk mencari berbagai hal terkait dengan pendalaman tugas materi perkuliahan. Saya berkesempatan mengunjungi beberapa sekolah dasar di salah satu kecamatan di kabupaten Tasikmalaya. Dalam kesempatan itu, Â saya mencoba berdialog dengan beberapa guru terkait implementasi kurikulum 2013 (Kurtilas). Selain berbincang-bincang dengan para guru, saya pun mencoba menelaah buku tematik 2013 revisi 2016 (walaupun tidak begitu mendalam).
Dari apa yang saya lakukan, ada dua hal yang menarik perhatian sehingga saya membuat tulisan ini. Ketertarikan saya pada dua persoalan penting (menurut saya), antara lain pertama implementasi kurikulum 2013 ternyata belum merata di setiap sekolah dasar. Saat ini kurtilas baru diberlakukan di kelas II dan IV, padahal sudah memasuki tahun lebih kurang enam tahun. Dalam pelaksanaannyapun, Â sekolah dan guru masih dihadapan pada berbagai persoalan mendasar (dukungan buku yang belum maksimal, media pembelajaran yang minimal, dan motivasi guru yang masih minim, dan lain sebagainnya).
Yang kedua, dari hasil telaah terhadap buku tematik yang menjadi pegangangan guru dan siswa, saya tidak menemukan adanya keterkaitan antara materi yang disajikan dengan nilai-nilai ke-Islaman. Yang ada hanya keterkaitan antara satu mata pelajaran yang bersifat umum, itupun belum pada semua mata pelajaran. Padahal buku itu diberi nama tematik.
Terhadap maraknya kekerasan dan meresotnya akhlak peserta didik yang sering diberitkan, baik di media cetak maupun elektronik, saya memiliki "pandangan", jangan-jangan salah satu penyebab rusaknya karakter dan akhlak peserta didik saat ini, ada kaitan dengan proses pembelajaran yang dilakukan saat ini. Dalam proses pembelajaran, ada banyak guru yang belum melakukan pengintegrasian nilai-nilai ke-Islaman. Apa integrasi nilai ke-Islaman? Bagaimana prakteknya?Â
Guru matematika misalnya, ketika mengajarkan tentang bagaimana menghitung volume, lebih sering menggunakan contoh menghitung dalam contoh kubus. Mengapa tidak bergeser pada contoh masjid, mushola, dan sejenisnya atau bentuk lain yang memiliki nilai ke-Islaman. Dalam mengajarakan tentang puisi, guru bahasa Indonesia lebih sering mengambil contoh puisi dari buku atau puisi lainnya yang tidak mengandung nilai-nilai ke-Islaman. Kenapa tidak anak disuruh mengambil contoh dari puisi-puisi yang mengandung nilai-nilai ke-Islaman atau disuruh membuat puisi yang mengadung nilai kebesan Allah. Itulah sesunggunya intergrasi nilai-nilai ke-Islaman. Integrasi nilai-nilai ke-Islaman adalah penggabungan (penyatuan) nilai-nilai ke-Islaman pada seluruh materi dan mata pelajaran yang diajarkan.
Dengan semakin munculnya kekhawatiran dari semua pihak (guru, orang tua, dan masyarakat) akan meresotnya akhlak peserta didik, saya optimis melalui pengintergarasian nilai-nilai ke-Islaman dalam setiap materi dan mata pelajaran di sekolah, anak didik akan semakin dekat dengan nilai-nilain ke-Islaman. Ketika anak sudah dekat dengan nilai-nilai ke-Islaman, anak akan semakin termotivasi untuk mau dan mampu menerapkan nilai-nilai ke-Islaman dalam kehidupan sehari-hari. Yang pada akhirnya, insya allah akan lahir generasi Indonesia yang semakin berkarakter dan berkhlak mulia, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu "mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H