Satu ketika ada ajang lomba pemilihan guru teladan tingkat nasional. Panitia memutusakan ada dua nominasi yang ditetapkan dewan juri masuk ke babak final. Singkat cerita masuklah pada sessi final. Masing-masing nominasi diberikan kesempatan dewan juri untuk mempresentasikan alasan mengapa diterpilih menjadi nominasi guru teladan.
Giliran nominasi pertama untuk presentasi (sebut saja namanya Pak Nana). Pak Nana dengan lantang, sistematis, penuh wibawa, dan penuh keyakinan, bercerita apa yang lakukan pada saat proses pembelajaran di kelas. Dalam presentasinya ia bercerita tahapan demi tahapan bagaimana proses pembelajaran dilakukan sesuai aturan. Sejak ia masuk kelas, membuka pelajaran, kegiatan inti, dan penutup. Tidak lupa menyelipkan kegiatan ice breakingnya. Semua ia presentasikan dengan gamlang dan percaya diri. Sayangnya dari apa yang ia presentasikan tidak ada yang luar biasa dan membuat dewan juri tidak tertarik untuk bertanya, karena apa yang Pak Nana sampaikan sesuai dengan ketentuan dalam standar proses pembelajaran.
Giliran ke dua nominasi B presentasi (sebut saja namanya Ibu Ani). Lazimnya seseorang yang presentasi, bu Ani pun mengawali dengan pembukaan, kemudian dia bercerita tentang apa dan bagaimana ia melakukan proses pembelajaran. Pada saat ia presentrasi, ada hal yang membuat dewan juri terpukau dan tertarik untuk bertanya. ‘’Daftar hadir selalu saya bawa ke kalas, tetapi saya tidak pernah memanggil nama-nama anak didik di kelas” ucapnya. Lalu dewan juri bertanya, kapan ibu cek kehadiran anak-anak didik? Bu Ani menjawab, ‘’saya membawa daftar hadir pada saat bangun malam. Nama-nama anak didik semua saya panggil dan saya do’akan selepas melaksanakan shalat malam. Semoga semua anak didik menjadi anak-anak yang berilmu dan berakhlak. Dengan cara itu, Alhamdulillah semua anak didik saya memiliki prestasi yang baik dan berakhlak baik. Mereka berbicara sopan kepada semua orang, tidak pernah bicara kotor, rajin melaksanakan ibadah fardu, dan lain sebagainya, tegasnya.
Dari cerita di atas ada pelajaran yang bisa kita ambil dalam berikhtiar melahirkan anak-anak serta generasi yang berprestasi dan berkarakter. Sejatinya tidak ada jaminan bagi guru untuk menjadikan anak didiknya menjadi manusia pintar dan shaleh hanya dengan mengandalkan kelengkapan administratif mengajar dan proses pembelajaran sesuai standar proses saja. Ada cara lain yang justru ‘kadang’ guru lupakan atau tidak pernah dilakukan. Padahal cara itulah cara yang efektif bagaimana berikhtiar melahirkan anak didik yang pintar dan shaleh. Apakah itu? Shalat dan Doa. Dalam konteks ajaran agama, shalat adalah media permohonan terbaik bagi seorang hamba kepada Allah SWT, karena shalat adalah juga bermakna doa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H